Tinta Media – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Angka itu bukan sekadar bilangan, melainkan usia yang mestinya menandai kematangan sebuah bangsa. Namun, ketika kita menengok realitas pendidikan dan kesehatan hari ini, pertanyaan getir tak terelakkan, benarkah kita sudah benar-benar merdeka?
Di pelosok negeri, banyak anak masih bersekolah di bangunan reyot, berjalan jauh menembus hutan atau sungai demi mengejar ilmu. Data terbaru bahkan menunjukkan angka partisipasi sekolah di jenjang SMA justru menurun signifikan. (CNNIndonesia, 14/08/2025)
Ironis, di saat dunia berbicara tentang kecerdasan buatan dan teknologi maju, kita masih berkutat pada persoalan akses sekolah menengah.
Kondisi serupa menghantui layanan kesehatan. Masih banyak warga yang harus merogoh kocek dalam hanya untuk berobat. Fasilitas kesehatan bermutu masih terkonsentrasi di kota besar, sementara desa dan daerah terpencil dibiarkan bertahan dengan tenaga kesehatan seadanya. Tidak heran, angka stunting dan gizi buruk masih menjadi momok bangsa di usia 80 tahun kemerdekaannya.
Kapitalisasi Layanan Publik: Akar Persoalan
Mengapa persoalan ini tak kunjung selesai? Karena pendidikan dan kesehatan diperlakukan bukan sebagai hak rakyat, melainkan sebagai barang dagangan. Kapitalisme menempatkan keduanya sebagai komoditas, di mana kualitas bergantung pada isi dompet. Sekolah dan rumah sakit terbaik seolah hanya untuk mereka yang mampu membayar, sementara rakyat miskin terus dipinggirkan.
Lebih jauh lagi, kapitalisme membuat negara bergantung pada utang dan investasi asing. Akibatnya, kebijakan publik sering kali lebih berpihak pada kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat sendiri. Pendidikan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja global, bukan untuk mencetak generasi berkepribadian luhur. Sementara itu, layanan kesehatan dipengaruhi industri farmasi besar yang menjadikan penyakit sebagai peluang bisnis.
Kapitalisme juga melahirkan ketimpangan pembangunan. Meniscayakan pembangunan hanya terpusat pada daerah bernilai ekonomi tinggi. Kota-kota besar dipenuhi sekolah unggulan dan rumah sakit modern, sedangkan pelosok negeri—yang juga bagian dari Indonesia—hanya mendapatkan sisa perhatian. Negara pun lebih sering sekadar menjadi regulator, membiarkan swasta memonopoli layanan publik.
Hasilnya bisa ditebak, ketimpangan terus melebar. Pendidikan dan kesehatan menjadi diskriminatif, hanya dapat diakses mereka yang mampu membayar. Bagi rakyat kecil, keduanya justru terasa sebagai beban, bukan hak.
Solusi Islam: Negara sebagai Penjamin, Bukan Regulator
Islam menawarkan solusi berbeda. Dalam Islam, negara bukan sekadar regulator, melainkan pengurus urusan rakyat (rā‘in) yang wajib menjamin kebutuhan dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan. Paradigma ini memandang bahwa setiap warga berhak atas pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas, gratis, dan merata tanpa diskriminasi.
Negara Islam membangun sarana dan prasarana publik untuk memastikan akses yang mudah: sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, hingga transportasi. Semua itu tidak dibiayai dari utang atau pajak rakyat, melainkan dari pengelolaan kekayaan alam yang dikuasai penuh oleh negara. Dana dikelola oleh baitulmal sesuai syariat sehingga hasil bumi dikembalikan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dengan sistem ini, pendidikan dan kesehatan tidak lagi dipandang sebagai beban atau komoditas, melainkan hak publik yang dijamin negara. Tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan kemampuan finansial, dan tidak ada lagi daerah terpencil yang terabaikan.
Saatnya Berpikir Ulang tentang Makna Merdeka
Delapan dekade kemerdekaan seharusnya menjadi momentum refleksi, apakah kita benar-benar sudah merdeka? Jika rakyat masih sulit mengakses pendidikan dan kesehatan, apakah kemerdekaan hanya sekadar slogan?
Merdeka sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari sistem yang menelantarkan rakyat. Selama kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan negara, ketimpangan pendidikan dan kesehatan akan terus berlangsung.
Sudah saatnya kita berani berpikir ulang. Islam telah menawarkan konsep yang adil, menyeluruh, dan terbukti mampu menjamin kesejahteraan rakyat di masa lalu. Paradigma inilah yang seharusnya kita pertimbangkan jika benar-benar ingin mewujudkan kemerdekaan yang hakiki.
Pada akhirnya, merdeka bukan sekadar peringatan upacara tahunan. Merdeka adalah ketika setiap anak bangsa bisa bersekolah tanpa terkendala biaya, setiap orang sakit bisa berobat tanpa harus menjual harta, dan ketika negara hadir sepenuhnya untuk melayani, bukan menyerahkan rakyat pada mekanisme pasar. Wallahualam bissawab.
Oleh : Fenny Raehanah, S.E.
Sahabat Tinta Media
Views: 13