Tinta Media – Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, rakyat Indonesia kembali disuguhi fakta yang justru bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan. Dalam Konferensi Press Joint Statement Indonesia-AS di Jakarta pada Kamis (25/07/2025), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan dengan bangga bahwa 12 perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS) membangun pusat data (data center) di Indonesia.
Pemerintah mengeklaim bahwa pembangunan ini menandakan kepatuhan AS terhadap regulasi perlindungan data pribadi di Indonesia. Ini juga menjadi bukti keberhasilan kerja sama ekonomi digital kedua negara.
Di sisi lain, fakta ini justru menyibak besarnya intervensi asing terhadap negara ini. Di saat dunia mengakui bahwa data adalah “minyak baru” (the new oil), Indonesia justru membiarkan asing berpeluang bebas mengobok-obok sesuka hati untuk berbagai kepentingan mereka. (CNN Indonesia.com, 25/07/2025)
Cengkeraman Kapitalis Global
Keamanan nasional dan perlindungan terhadap rakyat seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan infrastruktur data. Sayangnya, proyek-proyek pusat data oleh perusahaan asing sering kali dipandang sebagai peluang bisnis tanpa mengkritisi potensi ancaman geopolitik dan pengaruh korporasi global.
Pasalnya, infrastruktur data adalah alat kontrol informasi. Ketika dikuasai oleh korporasi asing, maka akses terhadap data rakyat Indonesia pun menjadi tidak sepenuhnya berada di tangan negara.
Walau pemerintah mengeklaim semuanya “sesuai regulasi”, namun pengalaman global membuktikan bahwa perusahaan raksasa teknologi AS seperti Google, Amazon, Microsoft, dan lainnya memiliki rekam jejak penyalahgunaan data pribadi dan tunduk pada tekanan lembaga intelijen seperti NSA dan CIA. Kasus kebocoran data Facebook, Cambridge Analytica, pengawasan massal oleh NSA yang dibocorkan Edward Snowden, serta penyalahgunaan metadata pengguna menjadi bukti kuat bahwa data adalah alat politik dan kendali global kapitalisme.
Penjajahan Gaya Baru
Inilah bentuk nyata penjajahan gaya baru dalam sistem kapitalisme digital. Negara-negara lemah dijadikan pasar data, objek eksploitasi digital, dan wilayah dominasi teknologi oleh negara-negara kuat. Indonesia bukan menjadi tuan rumah yang berdaulat, melainkan menjadi tambang data mentah yang dipanen murah dan dikendalikan pihak asing.
Kemerdekaan Semu
Jika pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan dari penjajahan fisik, maka hari ini kita justru menyaksikan penjajahan dalam bentuk lain berlangsung lebih canggih. Penjajahan berlangsung di segala bidang, seperti ekonomi, politik, bahkan digital.
Negara tidak sungguh-sungguh merdeka mengatur dirinya sendiri. Dalam hal data saja, regulasi dibuat bukan untuk memperkuat kontrol negara terhadap asing, melainkan untuk menyesuaikan diri dengan standar yang disukai investor luar. Kedaulatan digital, energi, pangan, dan pertahanan pun berada dalam bayang-bayang pengaruh dan kepentingan global.
Apa arti kemerdekaan jika server dan pusat data kita milik asing? Informasi strategis disimpan dan dikendalikan korporasi luar. Kebijakan digital disusun demi menarik investasi, bukan menjaga kedaulatan.
Evaluasi Pesta Simbolis Kemerdekaan
Momen 17 Agustus seharusnya menjadi ajang evaluasi mendalam, bukan sekadar pesta simbolis. Apakah bangsa ini benar-benar merdeka atau justru semakin dijajah dalam bentuk baru?
Selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan negara, kemerdekaan Indonesia akan terus semu. Dominasi asing akan terus mengakar, baik melalui investasi ekonomi maupun kontrol data dan informasi.
Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah, kemerdekaan sejati dapat diwujudkan. Kemerdekaan yang bebas dari eksploitasi, intervensi asing, dan cengkeraman sistem buatan manusia. Wallahualam bissawab.
Oleh: Muhar
Sahabat Tinta Media
Views: 41