Tinta Media – Derap langkah solidaritas kembali menggema. Ratusan aktivis dari berbagai negara berkumpul dalam gerakan Global March to Gaza (GMTG), sebuah perjalanan kemanusiaan yang bertujuan menembus blokade brutal Israel terhadap Gaza. Namun, harapan itu kembali terbentur tembok keras yang tak terlihat oleh mata, yaitu nasionalisme, batas negara dan kepentingan penguasa.
Seperti dilaporkan Kompas TV dalam artikelnya bertajuk “Mesir Usir Puluhan Aktivis yang Akan Ikut Perjalanan Menentang Blokade Israel”, puluhan aktivis dari berbagai negara yang hendak mengikuti gerakan ini justru diusir oleh pemerintah Mesir. Tindakan itu menjadi tamparan keras bagi dunia. Ketika orang-orang lintas bangsa bersatu untuk membawa bantuan, menyerukan keadilan, dan menolak penjajahan, justru mereka dihadang oleh rezim-rezim penguasa negeri Muslim sendiri. Padahal, Gaza sedang berdarah. Anak-anak meregang nyawa. Rumah-rumah luluh lantak. Akan tetapi, faktanya mereka yang ingin membantu pun diusir.
Munculnya GMTG membuat kemarahan umat Islam dan simpatisan kemanusiaan global semakin membara. Akan tetapi, di saat yang sama, tertahannya para aktivis di Rafah juga membuka mata kita bahwa gerakan kemanusiaan semata tak cukup untuk menyelesaikan tragedi Palestina. Ini karena ada “tembok” yang lebih kuat dari baja dan tembok beton, yakni sekat nasionalisme dan konsep negara bangsa yang kini merantai dunia Islam.
Konsep negara bangsa (nation-state) yang dipaksakan oleh kolonialisme setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah telah memisahkan umat Islam menjadi potongan-potongan kecil yang lemah. Batas-batas imajiner itu telah mengubur semangat ukhuwah dan menggantinya dengan loyalitas sempit pada tanah, etnis, dan paspor.
Akibatnya, penderitaan Gaza dianggap “bukan urusan kami”, walau mereka adalah saudara seiman.
Alih-alih menggerakkan tentaranya untuk menghancurkan penjajah dan membela saudaranya, para pemimpin itu justru sibuk menjaga perbatasan Gaza agar tetap terkunci. Mereka lebih khawatir kehilangan legitimasi dari Barat ketimbang kehilangan amanah membela umat.
Umat Islam harus sadar bahwa nasionalisme dan konsep negara bangsa bukan berasal dari Islam. Ia adalah racun ideologis yang ditanamkan penjajah Barat untuk menghancurkan persatuan umat. Paham ini secara sistematis digunakan untuk meruntuhkan kekhilafahan Islam pada awal abad ke-20, dan hingga kini digunakan untuk melanggengkan dominasi asing atas negeri-negeri muslim.
Nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam yang memandang umat sebagai satu kesatuan akidah, bukan sekadar kesamaan wilayah. Secara sejarah, ia telah terbukti menjadi alat penghancur persatuan dan kekuatan politik umat. Karenanya, selama nasionalisme masih menjadi dasar bernegara, jangan pernah berharap Palestina akan bebas. Selama pemimpin-pemimpin negeri Islam masih terkurung dalam logika negara-bangsa, mereka tak akan pernah menggerakkan pasukan untuk membebaskan Al-Aqsa. Ini karena mereka hanya memikirkan stabilitas kekuasaan, utang luar negeri, dan bagaimana tetap dianggap “mitra strategis” oleh negara adidaya.
Umat Islam tak boleh berhenti hanya pada bantuan logistik dan solidaritas moral yang bersifat temporer dan tidak menyentuh akar masalah. Arah gerakan umat harus bersifat politik, yakni membongkar sekat negara-bangsa yang menghalangi kekuatan militer umat bersatu dan mewujudkan satu kepemimpinan politik Islam kaffah.
Oleh: Lia Khusnul Khotimah,
Apoteker
Views: 19