Tinta Media – Dunia tengah dibayangi masalah serius di sektor ketenagakerjaan. Sejumlah negara besar mencatat lonjakan tingkat pengangguran, mencerminkan rapuhnya pemulihan ekonomi global di tengah tekanan inflasi, perlambatan ekonomi, hingga ketidakpastian politik. (cnbcindonesia.com, 28/08/2025)
Setumpuk masalah ketenagakerjaan di tanah air pun masih menjadi polemik. Mulai dari rendahnya upah hingga meningkatnya pengangguran akibat badai PHK dan minimnya lapangan kerja yang tersedia. Hal ini tidak mampu ditangani oleh para pemangku kebijakan.
Salah satu masalah yang mendasar, yaitu upah tenaga kerja. Artinya, buruh harus bertahan hidup dengan upah yang rendah di tengah mahalnya biaya hidup yang kian melejit. Akhirnya, gali lubang tutup lubang menjadi solusi yang menyesakkan.
Selain soal upah, masih terjadi diskriminasi usia pada pelamar kerja. Umumnya dibatasi usia pelamar 25 hingga 31 tahun. Hal ini makin mempersulit para pencari kerja, khususnya kaum lelaki. Para korban PHK juga sulit untuk kembali bekerja di sektor formal. Jumlah penganggur di Indonesia naik menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025, bertambah sekitar 83.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini menjadi alarm keras bahwa perekonomian sedang tidak baik-baik saja. (Kompas.id, 07/05/2025)
Efek perang dagang AS juga menciptakan bertambahnya jumlah PHK dan pengangguran generasi muda. Krisis tenaga kerja global ini menunjukan bahwa sistem kapitalisme gagal menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Faktor lain yang menunjang tingginya angka pengangguran, yaitu konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang atau kelompok. Ketimpangan kekayaan makin nyata dengan adanya kebebasan dalam kepemilikan harta yang dijunjung sistem kapitalisme.
Upaya pemerintah dengan mengadakan _job fair_ pun tidak menjadi solusi. Karena, dunia industri pun mengalami kemerosotan tajam dan melakukan PHK massal. Sementara itu, pembukaan sekolah dan jurusan vokasi tidak otomatis menjadikan lulusannya mudah mencari kerja Buktinya, banyak lulusan sekolah vokasi yang menganggur.
Selama sistem kapitalisme masih mendominasi dunia, termasuk Indonesia, maka kesejahteraan mustahil terwujud. Akhirnya, berujung pada meningkatnya kriminalitas karena pemenuhan urusan perut dan kebutuhan hidup lainnya terus mendesak.
Lain halnya dengan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Penguasa dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat). Mereka akan mengurusi dan memfasilitasi rakyat agar memiliki pekerjaan. Penerapan ekonomi Islam menjadikan kekayaan alam terdistribusi secara adil. Sistem pendidikan berbasis akidah Islam mampu menyiapkan SDM yang berkualitas. Bukan hanya siap kerja dan memiliki keahlian, melainkan menjadi tonggak peradaban.
Pengelolaan berbagai sumber daya alam di seluruh wilayah negara, secara tidak langsung akan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Selain itu, banyaknya pos pemasukan keuangan negara selain kekayaan alam ke baitulmal, menjadikan negara mempunyai kekayaan yang besar untuk didistribusikan kepada rakyat. Dengan demikian kesejahteraan dan keadilan akan terwujud secara merata dalam kehidupan. Wallahualam bissawab.
Oleh: Ema
Sahabat Tinta Media
Views: 25