Tinta Media – Kunjungan Bill Gates ke Indonesia dalam pertemuannya dengan Presiden Prabowo dan sejumlah pengusaha elite di Istana Merdeka tampaknya bukan sekadar agenda silaturahmi biasa. Di tengah pujian presiden yang menyebut Gates sebagai sosok “lebih Pancasila” karena kiprahnya dalam memberikan bantuan dana hibah ke Indonesia, ada hal-hal yang patut dicermati secara lebih kritis oleh publik.
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa sejak 2009, yayasan milik Bill Gates telah menggelontorkan dana miliaran rupiah untuk Indonesia, terutama di bidang kesehatan. Namun, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah benarkah dana-dana itu diberikan murni sebagai bentuk kebaikan hati? Ataukah semua itu bagian dari strategi bisnis yang dibungkus dengan kemasan filantropi?
Perlu dicatat, Bill Gates bukanlah sekadar seorang dermawan. Ia adalah pebisnis ulung dengan gurita kepentingan yang tersebar di berbagai sektor strategis dunia, termasuk di bidang farmasi dan teknologi kesehatan. Maka, wajar jika kita merasa perlu mempertanyakan, sejauh mana “bantuan” tersebut berujung pada penguatan kepentingan bisnis global milik Gates dan jaringan kapitalis internasional lainnya?
Dalam kunjungan tersebut, Gates tidak menemui masyarakat bawah, lembaga sosial, apalagi komunitas marginal. Ia bertemu para pemilik modal besar, termasuk mereka yang dikenal sebagai “sembilan naga”, yang selama ini berpengaruh dalam peta bisnis nasional. Diskusi yang terjadi pun bukan soal bantuan sosial langsung, tetapi seputar proyek besar, seperti pengembangan vaksin, keuangan inklusif, dan infrastruktur digital. Semuanya merupakan sektor dengan potensi keuntungan besar.
Selain itu, kita dikejutkan pula dengan pernyataan dari perwakilan Gates Foundation yang menyatakan minat mereka untuk bermitra dengan manufaktur lokal guna produksi vaksin. Memang terdengar baik di permukaan, apalagi dengan pelibatan perusahaan seperti Biofarma. Namun, ketika kita mengingat prinsip dasar kapitalisme bahwa “tak ada makan siang gratis”, maka kita perlu sadar bahwa semua investasi ini tentu ada tujuan bisnisnya.
Proyek vaksin TBC misalnya, yang disebut-sebut sebagai bentuk komitmen Gates membantu Indonesia, sebenarnya telah berjalan sejak tahun lalu dan merupakan proyek berskala internasional. Gates Foundation menjadi salah satu sponsor besar yang mempunyai akses langsung terhadap keuntungan dari hasil uji coba ini. Vaksin TBC, malaria, dan polio memang penting, tetapi jangan lupakan bahwa vaksin bukan solusi tunggal dan jangka pendek terhadap wabah. Sementara, penyebab struktural seperti kemiskinan, lingkungan kumuh, dan akses layanan kesehatan yang timpang tidak tersentuh dalam agenda besar ini.
Apalagi, sejarah telah mencatat bahwa investasi Gates di sektor kesehatan bukan tanpa keuntungan. Gates pernah menyatakan bahwa dari donasi US\$10 miliar ke sektor vaksin, ia mendapatkan manfaat ekonomi sebesar US\$200 miliar. Artinya, ada pengembalian dana 20 kali lipat dari “kedermawanan” itu. Jika demikian, apakah kita bisa menyebut itu murni filantropi?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bagaimana filantropi ini dijadikan alat untuk mengontrol arah kebijakan kesehatan global. Dengan menjadi donatur utama WHO, Gates Foundation memiliki kekuatan untuk mendorong prioritas global ke arah yang sesuai dengan kepentingan investasinya. Hal ini bukan sekadar spekulasi, tetapi realita dari kekuatan modal yang menyetir kebijakan publik dalam sistem kapitalisme.
Sebagai umat yang sadar akan dampak hegemoni ekonomi kapitalis, kita perlu menawarkan solusi yang lebih mendasar. Islam sebagai sistem hidup yang paripurna, memiliki pendekatan yang jauh lebih adil dalam mengurus urusan kesehatan. Dalam Islam, kesehatan adalah hak dasar setiap individu yang harus dipenuhi negara, bukan dijadikan komoditas atau proyek investasi. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) berkewajiban menyediakan layanan kesehatan secara gratis, bermutu, dan merata, tanpa harus berpangku pada kekuatan modal asing.
Negara Islam tidak akan membiarkan akses kesehatan diserahkan kepada swasta atau lembaga internasional dengan kepentingan bisnis. Ia memiliki sistem ekonomi mandiri, yang mampu membiayai seluruh kebutuhan rakyat, termasuk sektor kesehatan, tanpa perlu bergantung pada “hibah” yang berbau investasi politik global. Sejarah mencatat bagaimana sistem kesehatan dalam peradaban Islam mencapai masa kejayaan, dengan rumah sakit canggih, riset kedokteran yang unggul, dan pelayanan medis untuk seluruh warga tanpa dipingut biaya.
Maka, sudah saatnya kita berhenti terkagum-kagum dengan para kapitalis dermawan. Di balik senyuman dan dana hibah mereka, terselip agenda besar yang sering kali tidak terlihat oleh mata awam. Kita butuh sistem yang benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan yang tunduk kepada kepentingan pasar global. Solusi itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Oleh: Dian Mayasari, S.T.
Sahabat Tinta Media
Views: 19