Tinta Media – Media sosial belakangan ini diramaikan dengan tren #KaburAjaDulu, yang menjadi topik unggahan viral di platform X (Twitter). Tagar ini mencerminkan gelombang keputusasaan anak muda terhadap kondisi dalam negeri. Mereka melihat kehidupan di negara lain jauh lebih menjanjikan dibandingkan realitas yang mereka hadapi di tanah air. Fenomena ini tentu tidak lepas dari pengaruh digitalisasi dan media sosial yang menggambarkan kehidupan di luar negeri sebagai alternatif yang lebih baik.
Faktor yang menjadikan tagar ini viral dikarenakan karena minimnya lapangan pekerjaan, ketidakadilan dalam sistem rekrutmen yang sarat “orang dalam,” serta kebijakan ekonomi yang lebih berpihak kepada oligarki daripada rakyat kecil membuat mereka kehilangan harapan. Mereka yang berhasil melarikan diri lebih dulu (#KaburAjaDulu) menilai bahwa sistem rekrutmen di negara lain, seperti Kanada, Jerman, dan Singapura, lebih menekankan keterampilan serta pengalaman kerja dibanding sekadar formalitas administratif (republika.co.id, 14-02-2025).
Tren ini bukan hanya sekadar keluhan, tetapi juga sebuah alarm bahaya bagi keberlangsungan bangsa ini. Jika generasi muda yang seharusnya menjadi pilar pembangunan lebih memilih pergi daripada bertahan, maka ini adalah bukti nyata bahwa negara telah gagal dalam memenuhi hak dasar warganya. Demokrasi yang selama ini diagung-agungkan ternyata tak lebih dari ilusi, yang hanya menghasilkan kesenjangan ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan struktural yang kian mengakar.
Brain Drain: Bukti Kegagalan Ekonomi Kapitalisme
Fenomena brain drain, di mana para profesional dan tenaga kerja terampil lebih memilih bekerja di luar negeri, adalah dampak dari minimnya kesempatan dan penghargaan terhadap SDM dalam negeri. Banyak anak muda yang memiliki kompetensi lebih memilih mencari beasiswa atau pekerjaan di luar negeri, karena mereka sadar bahwa di Indonesia masa depan mereka tidak akan secerah di negara maju.
Lebih jauh lagi, fenomena ini memperlihatkan bagaimana negara berkembang seperti Indonesia semakin terjajah dalam skema ekonomi globalisasi kapitalis. Negara-negara maju dengan sengaja menarik sumber daya manusia terbaik dari negara berkembang, sementara negara berkembang dibiarkan tertinggal tanpa SDM unggul.
Pendidikan Mahal, Tapi Tidak Berkualitas
Dalam sistem sekuler kapitalis, pendidikan bukan lagi hak dasar, melainkan bisnis menggiurkan bagi pemilik modal. Biaya pendidikan semakin mahal, sementara kurikulumnya tidak berorientasi pada pembangunan peradaban, melainkan sekadar memenuhi kebutuhan pasar industri kapitalis. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi tidak memiliki kapasitas untuk membangun bangsa, tetapi hanya menjadi alat produksi bagi perusahaan-perusahaan besar.
Sementara di negara-negara maju, pendidikan bisa diakses secara gratis atau dengan biaya rendah, di Indonesia hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan pendidikan berkualitas. Hal Ini semakin memperlebar kesenjangan sosial, di mana yang kaya semakin berkuasa, sementara yang miskin semakin tertindas.
Pengangguran Merajalela, Lapangan Kerja Dikuasai Oligarki
Mencari pekerjaan di Indonesia ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Lapangan kerja semakin terbatas, sementara persaingan semakin ketat. Ironisnya, banyak perusahaan yang lebih memilih tenaga kerja asing daripada memberdayakan anak bangsa sendiri.
Selain itu, sistem rekrutmen dalam negeri dipenuhi oleh praktik korupsi dan nepotisme. Banyak lowongan kerja yang hanya terbuka bagi mereka yang memiliki “jalur orang dalam”, sementara mereka yang benar-benar kompeten justru tersingkir. Inilah wajah asli demokrasi sekuler yang menciptakan ketidakadilan struktural dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Islam: Solusi Hakiki untuk Kesejahteraan Umat
Berbeda dengan kapitalisme yang hanya berpihak pada pemilik modal, Islam mewajibkan negara untuk membangun kesejahteraan rakyat secara nyata. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu warganya, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, maupun sosial.
Dalam sistem Islam, negara tidak boleh membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan atau menganggur. Setiap laki-laki baligh wajib memiliki pekerjaan, dan negara bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka.
Islam mendorong empat sektor utama sebagai pilar ekonomi. Diantaranya sektor pertanian, dengan kebijakan distribusi lahan yang adil dan produktif. Perdagangan, dengan sistem ekonomi yang berbasis pada halal-haram, bukan sekadar keuntungan kapitalis. Industri, dengan mendorong pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diserahkan ke asing. Jasa, dengan memastikan seluruh tenaga kerja mendapatkan upah layak dan bekerja dalam kondisi yang manusiawi.
Dengan sistem ini, setiap rakyat akan memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk “kabur” ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan Gratis dalam Sistem Islam dan Berorientasi pada Kebangkitan Umat
Sistem Islam menjadikan pendidikan sebagai hak fundamental setiap individu, bukan sekadar fasilitas bagi mereka yang mampu membayar. Negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyatnya, dengan kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada kebutuhan industri, tetapi juga membangun generasi yang beriman, berilmu, dan siap membangun peradaban Islam yang unggul.
Dalam sistem Khilafah, pendidikan diarahkan untuk membentuk individu yang bertakwa dan memiliki pemahaman Islam yang kuat. Mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten dan mampu membangun negeri. Menciptakan inovasi dan teknologi yang tidak bergantung pada Barat atau negara kapitalis lainnya. Dengan sistem ini, tidak akan ada lagi fenomena “brain drain”, karena para intelektual dan tenaga ahli akan diberikan tempat yang layak dalam membangun negeri mereka sendiri.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Sistem Islam hanya untuk Rakyat, Bukan Oligarki
Dalam Islam, sumber daya alam tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan swasta, apalagi diserahkan kepada asing. Negara wajib mengelola sumber daya ini dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat. Minyak dan gas bumi, tambang, serta sumber daya strategis lainnya harus dikelola oleh negara, bukan dijual ke asing. Hasil dari pengelolaan ini harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik gratis, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Dengan sistem ini, negara tidak akan bergantung pada investasi asing, dan rakyat akan menikmati kekayaan alam mereka sendiri, bukan hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
Saatnya Berhenti Kabur, Saatnya Perjuangkan Islam!
Fenomena #KaburAjaDulu adalah cerminan dari gagalnya sistem kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Demokrasi sekuler hanya melahirkan ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang semakin tajam.
Namun, solusi bukanlah dengan melarikan diri, melainkan dengan mengubah sistem yang telah terbukti gagal ini. Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya sistem yang mampu membangun negeri ini di atas pondasi keadilan dan kesejahteraan hakiki.
Saatnya kembali pada Islam sebagai sistem kehidupan. Tegaknya Khilafah akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, mewujudkan dunia yang adil dan sejahtera.
Bukan #KaburAjaDulu yang seharusnya digaungkan, tetapi #TegakkanKhilafah, karena hanya dengan sistem Islam keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud bagi seluruh umat manusia.
Oleh: Novi Ummu Mafa
Sahabat Tinta Media
Views: 1