Tinta Media – Baru-baru ini data Moneter Internasional atau IMF pada World
Economic Outlook April 2024 merilis data tingkat pengangguran di Indonesia yang
mencapai 5,2% dan ini termasuk tertinggi bila dibandingkan dengan 6 negara lain
di ASEAN yakni Filipina dengan 5,1%, Brunei dengan 4,9%, Malaysia dengan 3,5%,
Vietnam dengan 2,1%, Singapura dengan 1,9% dan Thailand 1,1%.
(OkeGrafis/OkeZone, Ahad, 21/7/2024).
Sementara itu dilansir dari detikedu.com, Angka pengangguran
di Indonesia telah mencapai jumlah yang cukup tinggi. Menurut data BPS atau
Badan Pusat Statistik, TPT atau persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah
angkatan kerja di Indonesia mencapai 5,32 persen yang berarti ada sekitar 7,86
juta jiwa pengangguran per Agustus 2023 dari total 147,71 juta jiwa angkatan
kerja. (Selasa, 30/4/2024).
Menyoal pada kondisi ini Deputi Bidang Koordinasi
Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kemenko PMK, Warsito
menjelaskan bahwa substansi dari angka TPT yang dimiliki Indonesia berbeda
dengan yang dimiliki oleh negara-negara maju. Dia menyebutkan tingginya TPT di
Indonesia kebanyakan diakibatkan oleh adanya masyarakat yang belum bekerja,
sedang kuliah/sekolah dan mencari kerja. Ada pula yang baru lulus kuliah atau
sekolah dan baru akan mencari pekerjaan, serta orang yang baru berhenti bekerja
dan dalam proses mencari pekerjaan baru.
Permasalahan meningkatnya angka pengangguran bukanlah soalan
baru hari ini. Sebab misi mengentaskan pengangguran di negeri ini sudah lama
terwacanakan oleh pemerintah. Sering kali pula menjadi bahan kampanye dalam
ajang pemilihan kepala daerah maupun negara. Akan tetapi hingga kini masalah
pengangguran tak kunjung mengalami penurunan yang signifikan. Malah terus
bertambah setiap tahunnya.
Sebenarnya di mana letak kesalahannya? Kita bisa menilik
dari bagaimana pemerintah memberikan solusi untuk pengangguran. Sebut saja di
tahun 2020 ada proyek Kartu Prakerja, yang bertujuan memberikan pelatihan bagi orang-orang serta memberikan
sejumlah uang yang bisa digunakan untuk membeli paket pelatihan sesuai minat serta sisanya bisa
digunakan untuk modal. Akan tetapi alih-alih memberikan dampak positif, kebanyakan hasil program ini pun
tak memberikan hasil yang berarti.
Sebagaimana kami lansir dari theconversation.com, (6/8/2020)
yang mana disebutkan adanya 3 kelemahan dari solusi kartu prakerja ini. Pertama, peserta
yang tidak diarahkan ke industri unggulan.
Kedua, tidak memberikan informasi pada peserta mengenai
keahlian apa yang dibutuhkan oleh industri potensial. Ketiga , desain dan konten pelatihan belum
memastikan terpenuhinya keterampilan yang dibutuhkan. Alhasil, solusi itu gagal mewujudkan pengentasan
angka pengangguran di negeri ini. Justru yang terjadi adalah keuntungan bagi pihak pemilik program
pelatihan, yang mendapatkan anggaran dari negara atas proyek ini.
Sudah tak mengherankan bila negeri ini tak mampu
menyelesaikan masalah dengan tuntas. Sebab asas dari negeri yang mengusung mabda Kapitalisme ini memang
bukan untuk menyelesaikan persoalan umat, melainkan untuk meraup keuntungan ataupun manfaat.
Kapitalisme sendiri memandang bahwa memenuhi urusan umat bukanlah bagian prioritas mereka
seutuhnya, melainkan memenuhi kebutuhan individu lah yang jadi acuan utama. Sebab individu kapitalis
biasanya memberikan manfaat bagi negara.
Pengelolaan Sumber Daya Manusia atau SDM di sistem
kapitalisme ini mengakibatkan tenaga ahli dan tenaga kerap diambil justru dari negara asing. Alhasil
rakyat sendiri kehilangan potensi dan kesempatan kerja hingga akhirnya memilih solusi jadi TKI negara lain.
Lantas solusi apa yang bisa menuntaskan permasalahan ini?
Jika ingin mencari solusi dari sistem kapitalisme maka mustahil akan ditemukan jawabannya. Namun
bagaimana bila kita bicara tentang satu mabda yang haq? Yakni Islam.
Berbeda dengan ideologi Kapitalisme, Islam justru mewajibkan
negara untuk mengurus rakyat termasuk menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup. Hal ini dilakukan
melalui berbagai kebijakan yang mendukung, seperti adanya pengelolaan SDA secara mandiri,
yang akan membuka banyak lapangan
Kerja, hal yang mustahil bila diterapkan dalam sistem kufur
saat ini. Lalu disusul dengan adanya kebijakan yang tepat dalam menentukan kurikulum pendidikan
sehingga menciptakan sumber daya manusia yang gemilang. Teguh di atas akal dan sadar akan
potensi serta perannya dalam kehidupan.
Lapangan pekerjaan akan dimudahkan bagi para kepala keluarga
atau wali dari keluarga. Perempuan tidak diwajibkan menjadi tulang punggung keluarga melainkan
diberikan hak nya sebagai yang dinafkahi.
Walau begitu Islam tetap membolehkan bila perempuan ingin bekerja
namun bukan sebagai pemberi nafkah melainkan bila perannya dibutuhkan, misal di
bagian medis ataupun pendidikan.
Maka sudah seharusnya umat membuka mata untuk melihat bahwa
tak ada permasalahan yang bisa selesai sampai akar kecuali hanya dengan menerapkan sistem
Islam. Yang mana sistem ini mampu diterapkan dalam negara Islam bernama Khilafah Islamiyah.
Wallahua’lam Bisshoowab.
Oleh : Tri Ayu Lestari, Penulis Novel Remaja & Aktivis Dakwah
Views: 0