Tinta Media – Kabar tentang wacana jalan berbayar terus
bergulir. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berencana akan menetapkan kebijakan
jalan berbayar, Electronic Road Pricing (ERP) di sejumlah ruas jalan ibu
kota. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan,
seluruh kebijakan ini akan menyesuaikan dengan tata ruang lingkungan sekitar
(republika.co.id, 11/1/2023).
Kisaran harga yang akan diberlakukan sekitar
Rp5.000 – 19.000. Konsep ERP mirip seperti jalan tol, namun tak ada gerbang
tol yang membatasi. Dikabarkan ada sekitar 25 ruas jalan tol yang diberlakukan
konsep ERP, antara lain, Jalan Sisingamaraja, Panglima Polim, Fatmawati,
Balikpapan, Suryopranoto, Majapahit, Husni Thamrin, Gajah Besar, dan
jalan-jalan lain yang tersebar di Jakarta. Pemberlakuan ini akan di mulai pkl.
05.00 – 22.00 (Radar Bogor, 12/1/2023). Tujuan diterapkan ERP, yaitu untuk
mengatur volume kendaraan yang melintas agar kendaraan tak menumpuk di satu
titik. Harapannya, kemacetan dapat terkendali.
Berdasarkan rapat peraturan daerah (Raperda)
Badan Pembentukan Pembangunan Daerah, ada beberapa jenis kendaraan yang tak
dikenai biaya ERP, diantaranya, sepeda listrik, kendaraan umum plat kuning
(seperti angkutan umum, dan sejenisnya), kendaraan dinas plat kuning, kendaraan
diplomat, dan pemadam kebakaran. Penerapan ini pun masih dalam pembahasan untuk
dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta.
Namun, betulkah kebijakan ini dapat menjadi
solusi tuntas kemacetan yang belum tersolusikan hingga kini?
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan
Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa aturan
ERP merupakan salah satu solusi yang dapat mengendalikan kemacetan ibu kota.
Namun, kebijakan ini berpotensi melahirkan berbagai pertentangan masyarakat
secara umum (kompas.com, 12/1/2023). Meskipun ERP merupakan instrumen yang
lebih maju dan tergolong efektif mengendalikan volume kendaraan. Gelombang protes masyarakat pasti akan mengalir deras.
Kebijakan ini tak populer di Indonesia.
Negara yang sudah menerapkan sistem ERP, salah satunya adalah Singapura. Namun,
antara Indonesia dan Singapura tak bisa disamaratakan secara paralel. Kebijakan
ini harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat.
Kacaunya pengelolaan kebutuhan masyarakat
terhadap instrumen pendukung transportasi (seperti manajemen jalan) menunjukkan
bahwa sistem kapitalisme gagal total mengatur kebutuhan warga negara. Jalan
umum seharusnya diperuntukkan untuk kepentingan umum. Bukan menjadi obyek
“pemalakan”. Bahkan segala proses dan bentuk pemalakan ini dilegalkan
dalam Peraturan Pemerintah, yang tak bisa diganggu gugat oleh suara
rakyat.
Sungguh, sistem demokrasi yang katanya,
menjunjung suara rakyat, namun nyatanya menjadi alat penguasa untuk membodohi
rakyat. Belum cukupkah? Betapa sengsaranya rakyat hari ini. Beragam kebutuhan
yang kian mencekik. Sekarang ditambah program jalan berbayar yang harus
dipatuhi rakyat.
Sistem demokrasi yang kapitalistik, bagaikan
lintah yang terus menyedot darah rakyat hingga mengering. Pemimpin yang ada
senantiasa “mencari” posisi aman untuk kepentingan pribadi, oligarki
dan para pemilik modal. Tak peduli lagi terhadap nasib rakyat, yang kian hari
kian melarat.
Inilah wajah sistem destruktif. Rusak dan
merusak kehidupan. Tak layak dijadikan aturan. Solusi yang ditawarkan selalu
menggadai kesejahteraan rakyat. Sistem ERP bukan solusi tuntas kemacetan.
Solusi ERP disajikan tanpa menengok masalah yang ada di hulu.
Apa sebetulnya penyebab utama kemacetan yang luar biasa di ibukota? Beberapa diantaranya, karena banyaknya warga
negara yang memiliki kendaraan, tak ada kenyamanan dan keamanan transportasi
umum, serta akses jalan yang sedikit, sempit dan apa adanya. Segala penyebab
ini karena pengaturan negara yang kapitalistik. Segala kebijakan
dihitung-hitung keuntungannya secara materi. Tanpa menengok kebutuhan rakyat
yang sebenarnya.
Selayaknya, negara senantiasa memberikan
kebijakan sesuai kebutuhan rakyat. Mengatur jumlah kendaraan, menjaga kualitas
ruas-ruas jalan agar aman dan terhindar dari menumpuknya jumlah kendaraan di
satu titik, dan beragam kebijakan cerdas lain yang tak memeras rakyat. Namun
sayang, negeri ini mengampu demokrasi kapitalistik yang betul-betul sekuler.
Segala kebijakan yang ditetapkan tak bertujuan demi sejahteranya rakyat. Namun,
demi kantong para korporat. Keadaan ini pun diperparah dengan penerapan sistem
yang sekuleristik. Menjauhkan segala pengaturan kehidupan rakyat dari seluruh
aturan agama (syariat Islam). Walhasil, kualitas hidup rakyat kian
memprihatinkan. Jelaslah, solusi yang disuguhkan sistem kapitalisme hanyalah halusinasi.
Berbeda dengan sistem Islam. Yaitu sistem
yang menerapkan syariat Islam yang menyeluruh di setiap bidang kehidupan. Demi
sejahteranya kehidupan umat, setiap kebijakan yang ditetapkan negara selalu
mengacu pada keadaan umat.
Jalan-jalan umum, atau pun jalur
transportasi lainnya, merupakan fasilitas umum yang dipergunakan seluas-luasnya
untuk kepentingan umat. Tak perlu berbayar. Karena pengadaan jalur transportasi
adalah kewajiban negara dalam hal pelayanan rakyat. Tentu saja, segala
pembangunan dan manajemennya, negara-lah yang mengatur. Setiap kebutuhan rakyat
telah disiapkan pos-posnya dengan jelas. Tanpa perlu memungut biaya lagi dari
rakyat.
Sistem kekhilafahan Islamiyah menyediakan
segala kebutuhan rakyat seoptimal mungkin, salah satunya penyediaan jalan
sebagai sarana transportasi. Khilafah merencanakan tata ruang kota, desa dan
jalan-jalan dengan efektif dan efisien. Masa Kekhilafahan Abbasiyah
mencerminkan tata kota yang luar biasa. Setiap kota dilengkapi berbagai
fasilitas yang dapat memenuhi setiap kebutuhan rakyat. Mulai dari masjid, taman
kota, sekolah-sekolah, perkantoran, perpustakaan, pasar, rumah sakit, pusat
industri dan perdagangan. Sehingga masyarakat tak perlu ber-urbanisasi ke kota
lain demi penghidupan yang lebih baik. Karena di wilayah tinggalnya sendiri
telah aman dan nyaman dengan berbagai fasilitas yang terbaik. Jalan-jalan
sarana transportasi pun dibangun dengan sangat baik. Berstandar dan sesuai
kebutuhan umat. Negara membangun fasilitas sebaik-baiknya demi kepentingan
umat. Tak perlu menghitung-hitung keuntungan yang bakal didapat.
Hanya sistem Islam-lah satu-satunya sistem yang
mensejahterakan. Segala kebutuhan disiapkan negara demi tercapainya maslahat
umat. Sesuai perintah Allah SWT. semata. Karena setiap pemimpin umat adalah
pengurus seluruh urusan yang wajib dilaksanakan sepenuh iman dan takwa.
MasyaAllah, pengaturan yang amanah dan bijaksana.
Wallahu a’lam bisshowwab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Views: 0