Tinta Media – Pada akhir tahun 2024, masyarakat diramaikan dengan berita bahwa akan ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada awal tahun 2025, dari 11 persen menjadi 12 persen.
Kenaikan pajak 12 persen ini adalah buah dari pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Menteri keuangan Sri Mulyani menyampaikan, bahwa penyesuaian tarif PPN 12 persen akan berlaku bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi oleh orang-orang mampu, seperti barang-barang yang berkualitas premium, layanan kelas VIP dan sekolah-sekolah yang memerlukan pembayaran hingga ratusan juta.
Meskipun demikian, penolakan terhadap keikan PPN tetap ramai disuarakan oleh masyarakat, terutama para pengusaha, buruh, akademisi hingga legislator. Seperti Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman yang mengatakan, bahwa kenaikan PPN ini akan memicu kenaikan di tiap rantai pasok produksi makanan dan minuman olahan. Menurutnya, produsen akan mengalami kesulitan cashflow pada perusahaannya, karena produsen mau tidak mau harus membeli barang yang dikenakan PPN juga, yang pada akhirnya kenaikan barang akan ditanggung oleh konsumen.
Dampak kenaikan PPN ini akan mempengaruhi roda perekonomian Indonesia. Ketika masyarakat atau pelaku usaha memprediksi kenaikan harga akan terus naik. Mereka cenderung akan menaikan harga produksi mereka lebih awal, sehingga para konsumen mau tidak mau membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan ini dikhawatirkan akan menurunkan daya beli masyarakat. Padahal dari Mei 2024, daya beli masyarakat sudah menurun akibat banyaknya PHK karena banyaknya pabrik yang bangkrut.
Pemerintah di negeri ini setiap tahun selalu menaikan target penerimaan pajak, dan rakyatlah yang selalu dikejar-kejar sebagai wajib pajak untuk membayar pajak. Di antara jenis pajak yang dipungut dari rakyat sebagai sumbangan terbesar dalam pemasukan APBN yaitu dari Pajak Penghasilan (PPH) dan PPN.
Pemerintah lebih memilih menaikan PPN dari pada PPH, karena PPN lebih mudah ditarik. PPN yang mencangkup dalam segala bidang ekonomi dan terkena kepada seluruh rakyat yang mengkonsumsi barang dan jasa tanpa kecuali, sehingga masyarakat tidak dapat mangkir dari membayar PPN, dan niscaya mudah terkumpul.
Mengapa pemasukan utama APBN harus dari pajak yang dipungut dari rakyat? Padahal Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya alam (SDA ), mulai dari berbagai jenis bahan tambang, termasuk emas, berbagai jenis kekayaan laut, perkebunan seperti kelapa sawit dan lain-lain, yang dapat memenuhi APBN negara secara maksimal. Namun kenyataannya SDA ini tidak mampu menjadi sumber penghasilan utama negara, karena dikelola bahkan dimiliki oleh individu atau sekelompok orang, baik lokal maupun asing dan aseng, dari kalangan para kapitalis.
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme liberal di negara ini. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator saja. Pemerintah hanya membuat kebijakan, termasuk dalam pemungutan pajak yang digadang-gadang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas umum untuk rakyat. Negara tidak peduli terhadap akibat yang dimunculkan dari kenaikan pajak tersebut, berupa semakin beratnya beban hidup rakyat.
Mirisnya lagi, pada saat yang sama, para pengusaha kapitalis mendapat keringanan pajak (sunset policy dan tax amnesty) dengan alasan untuk menarik investor asing. Selain itu, para kapitalis ini pun diberikan kemudahan dalam berbisnis dan fasilitas yang istimewa, termasuk dalam melakukan bisnis impor barang mewah, dengan bebas bea cukai. Sedangkan pengusaha kecil dikenai pajak yang wajib dibayar hingga sehingga menjadikan mereka gulung tikar. Seperti seorang pengusaha susu bapak Pramono di Boyolali, yang harus menghentikan usahanya karena tidak kuat membayar pajak ratusan juta.
Inilah realitas hidup dalam negara yang diatur oleh sistem kapitalisme, yang hanya memenuhi kepentingan para kapitalis dan tidak pro rakyat.
Ini sungguh berbeda dengan dengan negara yang menjadikan penguasa sebagai ra’in (pengurus) rakyat, yaitu negara yang menerapkan sistem Islam. Di dalam Islam, pajak hanyalah sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara ketika kondisi kas negara (Baitul Mal) sangat kosong sementara kemaslahatan (kepentingan) rakyat wajib segera dipenuhi. Warga yang dikenai pajak pun hanyalah orang kaya yang sudah maksimal dalam pemenuhan nafkah keluarga dan orang-orang yang dalam tanggungannya, dan dilakukan hanya sementara saja. Ketentuan ini tertuang dalam kitab Al-Amwal fii Daulah Al-Khilafah karya Syaikh Abdul Qadim Zalum. Tidak seperti dalam kapitalisme, pajak untuk seluruh rakyat, baik miskin maupun kaya, selama mereka menjadi rakyat.
Islam pun telah menetapkan, sumber pemasukan utama negara terdiri dari hasil pengelolaan SDA, kharaj, ghanimah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian zakat terdiri dari zakat fitrah, zakat perdagangan, zakat pertanian dan zakat peternakan.
Adapun pos pengeluarannya pun diatur oleh syariat. Dengan tujuan utama untuk mensejahterakan rakyat dan dakwah Islam.
Islam bukan hanya agama ritual saja, akan tetapi Islam adalah ideologi yang mengatur kehidupan secara menyeluruh. Maka, Islam juga mengatur dan memerintahkan para penguasa untuk memperhatikan rakyatnya, menasihatinya dan memperhatikan agak tidak menyentuh harta milik umum.
Dalam Islam, negara wajib mengelola sumber daya alam dan melarang pengelolaan dilakukan oleh swasta atau individu tertentu saja. Dan hasil dari pengelolaan ini akan dikembalikan lagi untuk rakyat dengan membangun fasilitas untuk memudahkan rakyat.
Dan Khalifah sebagai pemimpin, akan mengatur pengelolaan ekonomi negara dengan berlandaskan syariat Islam, sehingga jauh dari kedzaliman dan manipulasi. Semua didorong oleh ketakwaan kepada Allah untuk mensejahterakan masyarakat bukan hanya untuk kepentingan individu saja.
Semua itu hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan aturan Allah sebagai landasan hukum nya, yaitu negara dengan sistem khilafah.
Wallahualam.
Oleh: Ira Mariana
Sahabat Tinta Media
Views: 3