Tinta Media – Menyedihkan, melansir berita dari CNBC Indonesia (29/6/2025), sebanyak 56.412 korban jiwa telah tewas di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Menurut otoritas kesehatan Gaza pada Sabtu (8/6), selama meletusnya konflik antara Hamas dan entitas Yahudi Israel, terdapat kurang lebih 133.054 orang yang mengalami luka-luka.
Di sisi lain, menurut laporan “Israel Hayom”, salah satu surat kabar harian di Israel, bahwasanya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Donald Trump menyetujui rencana gencatan senjata untuk mengakhiri perang dalam waktu dua pekan ke depan dengan berbagai persyaratan. (Republika.co.id, 27/6/2025)
Pada sumber yang sama dijelaskan bahwa perang di Gaza akan berakhir dengan syarat. Salah satunya yaitu dengan masuknya empat negara Arab (termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab) yang memerintah Jalur Gaza menggantikan Hamas, adanya perluasan di beberapa negara untuk menerima warga Gaza yang migrasi, Abraham Accords diperluas hingga Suriah, Arab Saudi, dan negara Arab. Kemudian, negeri muslim lainnya mengakui negara Israel serta menjalin hubungan diplomatik.
Gaza makin di ujung tanduk. Yang lebih memprihatinkan, banyak penguasa muslim yang mengkhianatinya, seperti pada Abraham Accords atau Kesepakatan Abraham yang merupakan kesepakatan bersama antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat pada 13 Agustus 2020. Perjanjian tersebut digunakan dengan dalih menjaga dan memperkuat perdamaian di dunia, terutama Timur Tengah. Perjanjian tersebut menarik negara Arab dan mayoritas muslim untuk mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel.
Alih-alih ingin mendesak negara Zionis, simpatisan beberapa negara muslim, termasuk Indonesia akhirnya menyetujui juga solusi dua negara tersebut. Ini adalah penyelesaian yang tidak masuk akal dan hanya membodoh-bodohi umat. Ini menandakan bahwa tak ada sama sekali penguasa muslim yang serius membantu Gaza. Pada intinya, Zionis, Amerika, dan sekutu mereka tidak menerima Palestina merdeka sepenuhnya.
Begitu pula warga Palestina, tidak menerima walaupun hanya sejengkal tanah kaum muslimin diberikan kepada penjajah. Mereka tidak mau mengkhianati perjanjian Umariyah serta pengorbanan nyawa para syuhada yang telah berjuang mempertahankan tanah Palestina. Warga Palestina tetap berjuang, berdiri mempertahankan wilayahnya walaupun pembantaian terus terjadi di setiap detiknya.
Penderitaan terus bertambah dan sulit dibayangkan akibat serangan udara yang tak hentinya dilakukan Zionis di Gaza dan sekitarnya. Banyak warga yang syahid dan terluka akibat pengeboman gedung pemukiman, rumah sakit, dan tenda pengungsian. Tidak hanya itu, kapal laut Israel juga menembaki pantai Gaza serta meledakkan gedung-gedung di timur laut kota Gaza.
Krisis kemanusiaan terjadi, terutama masalah kelaparan. Hal itu disebabkan Israel memblokade wilayah tersebut. Akibatnya, pendistribusian semua bantuan kemanusiaan, baik makanan, bahan bakar, air bersih, hingga pelayanan rumah sakit, khususnya pasokan obat-obatan terhenti. Menurut Direktur Bantuan Medis di Gaza, sebanyak 17.000 anak-anak menghadapi kelaparan dengan menderita penyakit kurang gizi serta terjangkit wabah yang sulit ditangani.
Mirisnya, hal tersebut tak mampu menggerakkan dan menggetarkan hati para pemimpin muslim. Mereka tetap diam dan memandang penderitaan saudara seiman bukan sebagai urusan bersama. Tidak ada penguasa negeri muslim yang membela Palestina dengan tegas dan penuh keberanian, selayaknya dekorasi dan boneka kolonialisme. Padahal, Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al Hujurat: 10)
Hati mereka sudah tertutup oleh sekat nasionalisme, serta urusan keduniaan yang hanya mementingkan cuan. Umat Islam seharusnya fokus dan yakin bahwa pertolongan Allah Swt. selalu ada dalam menyelesaikan masalah Palestina. Semangat untuk bangkit, menghadapi persoalan dengan keteguhan iman, harus terus menyala di tengah keterbatasan. Sepatutnya, pembantaian di Gaza dijadikan momentum untuk menyadarkan umat. Kita tidak bisa mengharapkan PBB atau lembaga mana pun, karena mereka di bawah arahan negara adidaya Amerika Serikat.
Solusi hakiki hanya dengan persatuan umat yang berideologikan Islam dan jihad. Ini yang mampu mengalahkan ideologi kapitalisme dan menjadi kunci tegaknya negara Khilafah, yaitu menyatukan kesatuan umat di bawah satu kepemimpinan seorang khalifah yang adil dan menegakkan syariat Islam secara kaffah.
Kesadaran akan persatuan umat akan jihad yang benar dan terorganisir, mampu mengguncangkan para penjajah yang telah melakukan banyak kezaliman. Dengan persatuan, maka kekuatan umat kembali pulih, menjadikan negeri-negeri muslim berdiri tegak dan disegani. Kemenangan yang dijanjikan Allah pun akan menjadi kenyataan.
Inilah, mengapa sistem Khilafah sangat penting, terutama dalam menjaga kebutuhan dan kekuatan umat. Di bawah naungan Khilafah, umat Islam bersatu, saling menolong, melindungi, serta saling membela kehormatan agama di mana pun mereka berada. Tidak akan ada sejengkal tanah pun jatuh ke tangan penjajah, karena Khilafah akan menjadi pelindung seluruh wilayah dan rakyatnya.
Khilafah bukan isapan jempol belaka. Ini sudah terwujud kurang lebih 1300 tahun lamanya. Saat kejayaan Islam dan kemuliaan peradabannya menorehkan sejarah, yaitu ketika umat bersatu dalam satu kepemimpinan yang hanya berlandaskan syariat Islam. Inilah pelajaran penting yang harus disadari umat Islam di berbagai belahan dunia, betapa pentingnya persatuan dan ukhuwah Islamiyyah yang akan menjadi kunci untuk kebangkitan umat. Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Umi Kulsum
Sahabat Tinta Media
Views: 17