Konsep Wakaf Uang
Tinta Media – Wakaf tunai, atau waqf al nuqud, adalah bentuk wakaf yang menggunakan uang sebagai harta wakaf. Ada dua cara penerapannya: pertama, uang wakaf digunakan sebagai modal dalam akad mudharabah, di mana keuntungan yang dihasilkan disalurkan untuk kepentingan wakaf (Abu Su’ud Muhammad, 2001, hlm. 20-21). Kedua, uang wakaf dapat dipinjamkan dalam bentuk akad pinjaman (qardh) (Agustianto, 2005, hlm. 5-6).
Dalam model mudharabah, wakif (pemberi wakaf) menyerahkan uang kepada nazhir (pengelola) yang berfungsi sebagai mudharib (pengelola modal) untuk mengelola dan menginvestasikan modal tersebut. Keuntungan dari pengelolaan modal digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pembangunan fasilitas publik, pendidikan, atau bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan. Modal pokok tetap terjaga dan terus diinvestasikan, sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Model kedua, melalui akad qardh, melibatkan peminjaman uang kepada pihak yang membutuhkan tanpa mengambil keuntungan. Penerima pinjaman bertanggung jawab mengembalikan dana pokok dalam jangka waktu yang disepakati, dengan harapan penggunaannya memberikan manfaat sosial atau ekonomi. Akad qardh sering diterapkan untuk mendukung usaha kecil atau kegiatan kemanusiaan, sehingga masyarakat yang membutuhkan dapat terbantu dengan cara yang lebih berkelanjutan.
Kedua metode ini menunjukkan bahwa wakaf uang tidak hanya sekadar memberikan dana, tetapi juga tentang pengelolaan yang produktif agar hasilnya dapat terus dinikmati oleh banyak orang. Dengan pendekatan ini, wakaf uang menjadi instrumen keuangan syariah yang fleksibel dan berpotensi besar dalam pembangunan ekonomi umat.
Di Indonesia, potensi wakaf uang sangat besar. Jika 100 juta warga negara mewakafkan uangnya sebesar Rp100 ribu per bulan, potensi wakaf uang dapat mencapai Rp120 triliun per tahun, seperti yang dihitung oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI, 2022). Mustafa Edwin Nasution, mantan Ketua Umum IAEI, menyatakan potensi ini bisa mencapai Rp20 triliun per tahun jika 10 juta umat Muslim mewakafkan uangnya mulai dari Rp1.000 hingga Rp100 ribu per bulan (Nasution, 2005).
Khilafiyah Hukum
Wakaf tunai di Indonesia diakui melalui fatwa Komisi Fatwa MUI Pusat pada 11 Mei 2002 dan diatur dalam Undang-Undang No. 41/2004 tentang Wakaf (Agustianto, 2005, hlm. 5-6). Namun, terdapat khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukumnya, terkait dengan status uang sebagai barang wakaf.
Pendapat Pertama: Sebagian ulama, termasuk mayoritas Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyyah, berpendapat bahwa wakaf tunai tidak diperbolehkan. Mereka berargumen bahwa wakaf harus melibatkan zat harta yang tetap ada. Jika zat tersebut hilang saat digunakan, maka wakaf tersebut tidak sah (Ibnu Qudamah, 2001, hlm. 229).
Pendapat Kedua: Di sisi lain, ada pendapat yang memperbolehkan wakaf tunai, seperti ulama Malikiyyah dan beberapa pendapat dari mazhab Hanafiyah dan Hanabilah. Mereka berargumen bahwa uang yang diwakafkan tidak hilang, karena ada penggantian dengan nilai setara (Wahbah Zuhaili, 2007, hlm. 298; Al ‘Ayyasyi Faddad, 2006, hlm. 8-9).
Berdasarkan analisis beberapa ulama kontemporer, termasuk Ustaz Shidiq Aljawi, terdapat tiga alasan utama mengapa wakaf tunai tidak diperbolehkan:
1.Definisi Syar’i: Wakaf harus menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengalihkan kepemilikan. Uang yang digunakan dalam wakaf akan hilang, sehingga tidak memenuhi syarat ini (Imam Shan’ani, 1991, hlm. 87; Imam Ibnu Qudamah, 2001, hlm. 231; Imam Syairazi, 1993, hlm. 575).
2.Hukum Asal: Harta wakaf harus dipertahankan. Pendapat yang membolehkan wakaf tunai melanggar hukum asal, karena berargumen bahwa harta dapat diganti dengan yang setara. Kaidah fiqih menyatakan bahwa sesuatu yang pasti tidak bisa dihilangkan oleh keraguan (Jalaluddin Suyuthi, 1998, hlm. 50).
3. Mashalih Mursalah: Argumen yang mendukung wakaf tunai lebih banyak berdasar pada kemaslahatan. Namun, Mashalih Mursalah bukanlah dalil syar’i yang diakui secara kuat (Taqiyuddin Nabhani, 2000, hlm. 441).
Kepentingan Bisnis di Balik Wakaf Uang
Dari penjabaran yang ada, seharusnya muncul pemikiran kritis berupa pertanyaan “Bila memang pendapat yang kuat adalah yang tidak memperbolehkan, mengapa kita justru yang dikampanyekan untuk berwakaf uang?”, “Mengapa hukum Islam yang diadopsi adalah pendapat yang kurang kuat?”. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan lebih mudah terjawab apabila kita menyadari bahwa adanya dua penyakit pemikiran yang merasuki umat, yakni sekularisme dan kapitalisme.
Kita bisa melihatnya dalam fakta-fakta yang ada:
1. Keterlibatan Lembaga Keuangan: Banyak lembaga keuangan syariah kini menyediakan produk investasi yang berbasis wakaf uang. Mereka mengembangkan opsi investasi yang menawarkan imbal hasil dari dana wakaf, yang menunjukkan adanya komersialisasi dalam pengelolaan wakaf (Badan Wakaf Indonesia, 2023).
2. Pendanaan Proyek-Proyek Bisnis: Dana wakaf digunakan untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur dan bisnis, seperti pembangunan gedung, rumah sakit, dan sekolah. Dalam banyak kasus, hasil dari proyek tersebut digunakan untuk pengelolaan wakaf, sehingga wakaf berfungsi lebih seperti investasi (Jurnal Keuangan Syariah, 2023).
3. Persaingan di Pasar Keuangan: Beberapa organisasi bersaing untuk menarik dana wakaf, mirip dengan cara perusahaan mengumpulkan investasi (Bank Indonesia, 2023).
4. Pengelolaan yang Tidak Transparan: Terdapat kasus di mana pengelolaan dana wakaf tidak dilakukan dengan transparan, yang sering kali merugikan penerima manfaat (Lembaga Pengawas, 2023).
5. Perkembangan Teknologi dan Platform Digital: Munculnya platform crowdfunding berbasis wakaf memungkinkan pengumpulan dan pengelolaan dana wakaf seperti investasi (Laporan Teknologi Pengelolaan Wakaf, 2023).
Kesimpulan
Wakaf uang menawarkan potensi luar biasa dalam pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia. Namun, perdebatan mengenai khilafiyah hukum masih menjadi tantangan yang perlu kita hadapi. Beberapa ulama memandang wakaf tunai bertentangan dengan prinsip syar’i, sementara yang lain mendukungnya demi kemaslahatan.
Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kepentingan bisnis yang mengintai di balik popularitas wakaf uang. Keterlibatan lembaga keuangan, penggunaan dana untuk proyek bisnis, dan pengelolaan yang kurang transparan berpotensi mengubah wakaf menjadi sekadar komoditas. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk menjaga esensi wakaf sebagai instrumen amal yang tulus.
Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk mendalami hukum dan prinsip syar’i terkait wakaf uang dengan serius. Kita harus mengambil pendekatan yang hati-hati agar wakaf tetap berfungsi sebagai sumber manfaat bagi masyarakat, tanpa mengabaikan nilai-nilai spiritualnya. Diskusi mengenai khilafiyah ini bukan hanya sebuah perdebatan, tetapi juga kesempatan berharga untuk memperkuat pemahaman dan praktik ajaran Islam dalam konteks modern. Mari kita jaga agar wakaf uang tidak hanya menjadi alat investasi, tetapi juga menjadi pilar kebaikan yang membawa manfaat bagi semua
Daftar Referensi
1. Abu Su’ud, Muhammad. Wakaf dan Zakat: Pemberdayaan Ekonomi Umat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
2. Agustianto. Wakaf Uang: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Kencana, 2005.
3. Badan Wakaf Indonesia (BWI). Potensi Wakaf Uang di Indonesia. Jakarta: BWI, 2022.
4. Jalaluddin Suyuthi. Al-Muqaddimah Fi Ilm Al-Qiyas. Cairo: Dar Al-Fikr, 1998.
5. Imam Syairazi. Al-Mahalli Fi Fiqh Al-Shafi’i. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1993.
6. Ibnu Qudamah. Al-Mughni. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2001.
7. Nabhani, Taqiyuddin. Nidzam Al-Islam Fi Al-Muamalat. Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 2000.
8. Zuhaili, Wahbah. Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damascus: Dar Al-Fikr, 2007.
9. Al-‘Ayyasyi Fadd
Oleh: Ihfadz Zefar Alfarizi
Mahasiswa STEI Hamfara
Views: 2