SPMB vs PPDB: Jalan Baru atau Masalah Lama dalam Pemerataan Pendidikan?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Kritik Wacana dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Tinta Media – Perubahan sistem penerimaan siswa dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) digadang-gadang sebagai solusi untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemerintah berargumen bahwa skema baru ini lebih adil dan inklusif dibandingkan sistem zonasi yang diterapkan sebelumnya. Namun, pertanyaannya: benarkah perubahan ini akan membawa perbaikan substantif, ataukah hanya sekadar rebranding tanpa menyentuh akar permasalahan?

Dari perspektif filsafat pendidikan Islam, pergeseran kebijakan ini perlu ditelaah lebih dalam, terutama apakah sistem ini benar-benar mengarah pada tujuan pendidikan yang hakiki dalam Islam. Dengan merujuk pada pemikiran Syed Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, serta Taqiyuddin an-Nabhani, kita dapat mengevaluasi sejauh mana kebijakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yang sesungguhnya.

Dari PPDB ke SPMB: Perubahan Administratif atau Substansial?

Secara teknis, perbedaan utama antara PPDB dan SPMB terletak pada mekanisme penerimaan siswa. Jika PPDB berbasis zonasi, yang lebih menekankan kedekatan tempat tinggal dengan sekolah, maka SPMB menerapkan sistem yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan jalur domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Kuota masing-masing jalur disesuaikan untuk menyeimbangkan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat (Suara.com).

Namun, perubahan sistem ini tetap beroperasi dalam paradigma pendidikan yang sama—yakni sistem pendidikan nasional yang masih berbasis sekularisme. Pendidikan dalam kerangka ini cenderung menjadikan ilmu sebagai alat untuk mencetak tenaga kerja, bukan sebagai sarana untuk membentuk manusia dengan pola pikir dan kepribadian yang kokoh.

Analisis dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

1. Syed Naquib al-Attas: Pendidikan sebagai Pembentukan Adab

Menurut Syed Naquib al-Attas, pendidikan dalam Islam bukan sekadar transfer ilmu, tetapi harus bertujuan untuk membentuk adab—yakni kesadaran seseorang akan tempatnya dalam tatanan wujud yang diciptakan Allah. Dalam bukunya The Concept of Education in Islam, ia menegaskan bahwa sistem pendidikan yang ideal adalah yang membangun kesadaran spiritual dan intelektual secara bersamaan.

Dari sudut pandang ini, perubahan dari PPDB ke SPMB tidak menyentuh aspek fundamental pendidikan. Sistem ini hanya mengatur distribusi peserta didik ke sekolah-sekolah, tetapi tidak memberikan jaminan bahwa pendidikan yang diberikan akan mencetak manusia yang beradab dan memiliki kesadaran Islam yang tinggi.

2. Ismail Raji al-Faruqi: Islamisasi Ilmu sebagai Solusi

Ismail Raji al-Faruqi dalam Islamization of Knowledge mengkritik sistem pendidikan modern yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai Islam. Menurutnya, pendidikan seharusnya mengintegrasikan wahyu dan akal sehingga ilmu pengetahuan tidak menjadi sekadar instrumen pragmatis, tetapi bagian dari pemahaman holistik tentang kehidupan dan tujuan manusia.

Dalam konteks SPMB, sistem ini tetap mempertahankan paradigma sekular yang menempatkan pendidikan sebagai alat mobilitas sosial-ekonomi, bukan sebagai jalan untuk memahami dan menjalankan Islam secara kaffah. Oleh karena itu, tanpa Islamisasi ilmu, perubahan ini tidak akan memberikan dampak signifikan dalam membentuk generasi yang memahami peran dirinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

3. Taqiyuddin an-Nabhani: Pendidikan dalam Bingkai Daulah Islam

Bagi Taqiyuddin an-Nabhani, pendidikan Islam tidak cukup hanya dengan mengajarkan ilmu agama di dalam sistem sekular. Dalam Nizham al-Islam, ia menjelaskan bahwa pendidikan dalam Islam harus berfungsi untuk membentuk kepribadian Islam dan menghasilkan generasi yang mampu menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan nyata.

Sistem SPMB tidak membawa perubahan dalam aspek ini. Selama kurikulum masih mengikuti standar pendidikan sekular dan tidak berorientasi pada pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam), maka perubahan sistem penerimaan siswa hanyalah kosmetik belaka. Masalah utama bukan pada mekanisme penerimaan siswa, tetapi pada isi dan orientasi pendidikan itu sendiri.

Kritik terhadap Wacana SPMB sebagai Solusi Pemerataan Pendidikan

Dari perspektif filsafat pendidikan Islam, ada beberapa kritik mendasar terhadap kebijakan SPMB ini:

1. Fokus pada Distribusi, Bukan Kualitas Pendidikan

Perubahan dari PPDB ke SPMB hanya mengubah mekanisme penerimaan siswa tanpa menjamin peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Tanpa perbaikan kurikulum dan metode pembelajaran, distribusi siswa yang lebih merata tetap tidak akan menjamin pemerataan kualitas pendidikan.

2. Tidak Menyentuh Akar Sekularisasi dalam Pendidikan

Pendidikan di Indonesia masih berbasis paradigma sekular yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai Islam. SPMB tidak mengubah orientasi ini, sehingga tetap melestarikan sistem pendidikan yang bertujuan mencetak tenaga kerja, bukan individu yang memahami Islam secara komprehensif.

3. Tidak Ada Islamisasi Ilmu dalam Kurikulum

Sistem pendidikan yang ada tidak menanamkan cara berpikir Islam, melainkan masih mengadopsi pola pikir Barat yang menekankan materialisme dan utilitarianisme. SPMB tidak memberikan solusi terhadap permasalahan ini.

Solusi Islam terhadap Problematika Pendidikan

Sebagai solusi, pendidikan harus dikembalikan kepada sistem Islam yang menyeluruh, sebagaimana digagas oleh Syed Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Taqiyuddin an-Nabhani. Beberapa langkah konkret yang perlu diterapkan adalah:

1. Menerapkan Kurikulum Berbasis Akidah Islam

Kurikulum harus berorientasi pada pembentukan pola pikir Islam (aqliyah Islamiyyah) dan jiwa Islam (nafsiyyah Islamiyyah), bukan hanya sekadar mengajarkan mata pelajaran agama sebagai pelengkap.

2. Mengintegrasikan Wahyu dan Akal dalam Pendidikan

Konsep Islamisasi ilmu sebagaimana yang diusulkan oleh al-Faruqi harus diterapkan dalam sistem pendidikan, sehingga ilmu tidak hanya dipelajari dalam perspektif sekular, tetapi juga dalam kerangka Islam.

3. Menjadikan Negara sebagai Penanggung Jawab Pendidikan

Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas tinggi secara gratis untuk seluruh warganya. Pendidikan tidak boleh dikomersialisasi atau dijadikan alat politik, melainkan harus menjadi tanggung jawab negara untuk mencetak generasi yang siap menerapkan Islam dalam kehidupann

Kesimpulan

Perubahan dari PPDB ke SPMB hanyalah perbaikan administratif yang tidak menyentuh persoalan mendasar dalam sistem pendidikan. Selama pendidikan masih berlandaskan sekularisme, perubahan ini tidak akan memberikan solusi terhadap ketimpangan akses maupun kualitas pendidikan di Indonesia.

Dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, pendidikan harus bertujuan membentuk manusia beradab (al-Attas), mengintegrasikan wahyu dan ilmu (al-Faruqi), serta mencetak generasi yang siap menerapkan Islam secara menyeluruh (an-Nabhani). Solusi sejati bukanlah sekadar mengubah sistem penerimaan siswa, tetapi melakukan reformasi total terhadap sistem pendidikan agar selaras dengan Islam.

 

 

Referensi:
Al-Attas, S. N. (1993). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: ISTAC.
– Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon, VA: IIIT.
– An-Nabhani, T. (2008). Kepribadian Islam (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah). Jakarta: Dar al-Ummah.

Views: 5

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA