Tinta Media – PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau biasa disebut Sritex tutup, mengakibatkan 10.000 pekerja menjadi korban PHK. Pabrik resmi ditutup terhitung 1 Maret 2025. Dampak dahsyat yang harus diwaspadai adalah PHK massal di perusahaan lain. (Ekonomy.okezone.com, 02/03/2025)
PT Sritex merupakan perusahaan tekstil terbesar se-Asia Tenggara, bahkan dianggap paling rentan terhadap PHK. Perusahaan yang bertempat di Sukoharjo Jawa Tengah ini telah berdiri sejak tahun 1966 dan pada tanggal 1 Maret 2025 kemarin dinyatakan pailit oleh pengadilan. Hingga akhirnya, 10.000 karyawan diberhentikan. Dikabarkan pula bahwa PT Sritex dianggap tidak memenuhi pembayaran utang sejumlah debitur yang sudah ditetapkan.
Ada beberapa faktor yang digadang-gadang menjadi pemicu penurunan pendapatan PT Sritex. Pertama, imbas dari pasca wabah Covid 19, kemudian adanya persaingan tekstil internasional, juga peraturan pemerintah yang berubah-ubah bak kata pepatah “isuk dele sore tempe”. Ini berimbas pada pengusaha yang menjalankan usahanya menjadi kalang kabut.
Liberalisasi Akar Masalah
Namun bukan hanya itu, lahirnya Permendag No. 8 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan impor yang berlaku mulai tanggal 17 Mei 2024 adalah biang kerok runtuhnya PT Sritex. Isinya antara lain kemudahan impor pada dua komoditas, termasuk pakaian jadi dan aksesoris pakaian. Inilah yang menambah beban persaingan industri tekstil dalam negeri. Pada faktanya, tahun 2020, sudah ada 36 perusahaan tekstil gulung tikar. Walhasil, 14.000 karyawan di-PHK saat itu.
Massifnya produk tekstil yang masuk ke dalam negeri tak bisa dilepaskan dari kerja sama perdagangan antarnegara, yaitu Indonesia dan Cina, Asean China Free Trade Area (ACFTA). Ini memungkinkan akses pasar yang lebih besar antara negara-negara Asean dan Cina. Kebijakan ini tentu saja menguntungkan Cina. Selain itu, Cina yang memiliki kualitas dan daya saing tinggi untuk produk tekstil juga menurunkan tarif impor pada barang-barang yang diperdagangkan antarkedua negara.
Semua ini terjadi karena ekonomi kapitalisme global yang diterapkan diydunia dan menjadikan semua negara mengikuti kebijakan pasar bebas sejalan dengan perjanjian dalam ACFTA. Akhirnya, industri dalam negeri kalah bersaing dan tak jarang gulung tikar. PHK besar-besaran tak terelakkan. Bahkan, negara sendiri merespon PHK dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) yang solusinya tambal sulam.
Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme yang mempunyai prinsip liberalisasi dalam ekonomi. Negara berwatak populis otoriter yang hanya menjalankan peran sebagai regulator, bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat, tetapi lebih mementingkan kepentingan oligarki. Liberalisasi ekonomi juga menyebabkan lapangan pekerjaan dikontrol oleh perusahaan (industri), bukan menjadi tanggung jawab negara.
Islam Solusi Paripurna
Berbeda dengan Islam, sistem ekonomi diatur sedemikian rupa dengan menjaga suasana yang kondusif bagi pengusaha dan perusahaan yang menjalankan industri, sehingga rentan terhadap gulung tikar. Pengaturannya secara detail tercantum dalam sistem ekonomi Islam.
Membangun industri merupakan bagian dari membangun ekonomi secara keseluruhan. Asas ekonomi Islam bukanlah untuk produksi barang dan jasa secara besar-besaran. Asasnya adalah distribusi kekayaan, yakni memastikan setiap individu masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pokoknya.
Islam membolehkan individu masyarakat mengembangkan hartanya seperti membangun industri dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat. Ketentuan-ketentuan inilah yang wajib digunakan negara demi mengeluarkan kebijakan terkait industri. Ketentuan tersebut sejalan dengan praktik ekonomi Islam, yaitu jaminan terpenuhinya kebutuhan asasi (primer) seluruh warga negara, mulai dari kebutuhan primer berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, serta kebutuhan sekunder dan tersier masyarakat yang wajib diwujudkan negara Islam, yakni khilafah.
Pasar-pasar bagi hasil industri, menjamin ketersediaan bahan baku dan yang lainnya. Sebab, negara adalah ra’in (pengurus rakyat) yang memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Penerapan aturan Islam yang boleh dimiliki individu dalam negara Islam ini rentan terhadap kebangkrutan. Sebab negara-negara dalam cengkraman atau dominasi negara-negara kafir.
Selain itu negara Khilafah mengharuskan adanya industri militer. Nantinya, tekhnologi tercanggih akan dikembangkan, sebab industri militerlah yang mampu menghasilkan industri lain seperti industri tekstil, makanan, otomotif, dan lain sebagainya.
Alhasil, akan terbentuk industri yang kuat dan berkembang dalam negeri. Dengan begitu, negara mampu menciptakan lapangan kerja luas dan memadai bagi rakyat. Industri-industri tersebut juga mampu memproduksi kebutuhan masyarakat dalam jumlah berlimpah, sehingga harga barang menjadi murah dan terjangkau.
Khilafah sangat selektif melakukan kerja sama dengan negara lain dalam politik luar negeri Islam. Negara memastikan kerja sama yang berlangsung tidak akan melemahkan negara Khilafah.
Demikianlah pengaturan industri dalam Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan di tengah masyarakat. Seluruh mekanisme ini tentu akan dijalankan oleh penguasa yang menjalankan sistem kepemimpinan dan memiliki profil Islam. Ini akakan kita temui dalam sebuah instrumen institusi negara Islam dalam bingkai Khilafah. Maka mari bersama kita wujudkan kembalinya sistem Islam di bawah naungan Khilafah agar keberkahan Allah turun dari langit dan bumi sebagaimana tercatat dalam sejarah sepanjang kurun waktu 13 abad Islam yang mampu menjadi mercusuar dunia. Wallahu a’lam bisshawwab.
Oleh: Lisa Herlina,
Aktivis Dakwah
Views: 0