Tinta Media – “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak.“
Lafaz talbiyah yang terdengar dalam ibadah ritual tahunan kaum Muslimin, menggelorakan syiar Islam dengan berbagai hiruk pikuk di dalamnya. Jutaan peziarah berbondong-bondong menuju satu tempat mulia, Baitullah, Makkah. Penyelenggaraan ibadah haji tentu membutuhkan fasilitas yang memadai, mengingat jemaah yang datang dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai tingkat usia. Hal ini pasti menyibukkan negara tertuju yakni Arab Saudi maupun negara asal para peziarah terutama Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia.
Menteri Haji dan Umrah, Muhammad Irfan Yusuf, mengatakan bahwa Indonesia akan membangun Kampung Haji di Arab Saudi sebagai pusat layanan haji dan umrah bagi penduduk asal Indonesia terutama bagi jemaah yang berusia lanjut sehingga jemaah tidak menempuh jarak yang jauh dari Masjidil Haram. (Tempo.co, 16/09/2025)
Pelaksana Pembangunan Kampung Haji
Seperti dikatakan oleh Gus Irfan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyepakati Badan Pengelola Investigasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai pelaksana dan akan membiayai pembangunan Kampung Haji tersebut, sedangkan negara hanya mendapatkan hak pakai saja. Perlu diketahui bahwa Pangeran Muhammad bin Salman telah memberikan tanah seluas 50 hektar untuk konsensi 100 tahun dan ini bisa sewaktu-waktu berubah sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh Arab Saudi. (Antara.news, 27/12/2024)
Jika ditilik ulang, Danantara merupakan sebuah lembaga yang mengelola dana BUMN untuk diinvestasikan pada proyek-proyek strategis negara. Tujuannya adalah untuk mengembangkan dan memperkuat ekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa keberadaan Danantara yang mengelola pembangunan Kampung Haji harus mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. Artinya, ibadah haji kembali menjadi komoditas dengan orientasi untung rugi.
Akar Masalah
Sistem ekonomi dunia saat ini dikuasai oleh sistem ekonomi kapitalis. Tak heran jika segala sesuatu harus diperhitungkan untung ruginya, bahkan saat mengatasi persoalan umat. Negara akan bertindak cepat jika di situ ada keuntungan yang bisa diraih, termasuk dalam urusan haji dan umrah yang itu merupakan ibadah umat Islam dengan biaya yang tidak sedikit, bahkan harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa menunaikannya.
Sistem Islam Solusi Tepat
Pemerintahan Islam dalam sejarahnya telah menunjukkan pelayanan terbaik kepada para peziarah haji dan umrah. Amirul Haj didirikan sebagai penanggung jawab untuk memastikan keamanan, akomodasi, dan transportasi bagi para peziarah dari negara asal ke Baitullah sampai kembali ke negara masing-masing. Semuanya dilakukan bukan atas dasar untung rugi, melainkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt. semata.
Khalifah Harun Ar-Rasyid misalnya, beliau dan istrinya telah memberikan biaya gratis kepada 300 kuota pegawai pemerintahan pada setiap tahunnya untuk berhaji. Beliau juga membantu membangun penginapan-penginapan di sepanjang jalur menuju Baitullah, rumah sakit, dan juga fasilitas umum lainnya yang bisa diakses oleh setiap peziarah secara gratis. Semua dana yang digunakan didapatkan bukan dari pajak atau utang seperti pada negara kapitalis, melainkan dari baitulmal.
Konsep Baitulmal
Baitulmal adalah sebuah lembaga yang berada di sistem pemerintahan Islam yang mengelola keuangan negara. Baitulmal mendapatkan pemasukan dari beberapa pos, seperti:
1. Zakat, yaitu harta yang diambil dari 2,5% harta diam warga negara yang sudah mencapai nisab atau sekitar 85 gram emas. Dengan syarat harta itu tidak berkurang atau bertambah dalam kurun 1 tahun.
2. Ganimah atau harta rampasan perang.
3. Kharaj, yakni harta yang diambil dari warga negara yang berada di tanah yang dibebaskan dengan jihad, seperti Syam.
4. Fai atau harta yang diberikan oleh nonmuslim kepada baitulmal tanpa terjadi peperangan.
Negara juga memberlakukan syariat Islam dalam mengelola sumber daya alamnya. Seperti dalam hadis Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Artinya: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Hal itu diperkuat dengan kisah Rasulullah saw. yang membatalkan keputusan pemberian tanah kepada Abyadh dan mengambil kembali kepemilikannya karena Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi menyampaikan bahwa tanah tersebut adalah tambang garam dan termasuk tanah “mati” yang harus digunakan untuk kepentingan publik, bukan dimiliki oleh pribadi.
Tidak seperti saat ini, 101 tahun berselang tanpa adanya pemerintahan Islam, umat Islam seperti menjadi ladang bagi para pemilik modal besar untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya, kesatuannya dipecah dengan nasionalisme, kepeduliannya dihancurkan oleh hak asasi individual, sumber daya alamnya dikeruk dan dikuasai oleh asing dan aseng, tetapi kebutuhannya tidak dipenuhi. Adapun jika dipenuhi pasti dengan harga yang mahal dan sulit dijangkau.
Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan sederet aturan. Tanpa adanya aturan Islam, umat dalam petaka. Maka, kembali kepada aturan Islam adalah keniscayaan. Jika aturan Islam diterapkan, maka kehidupan manusia akan sejahtera, umat akan menjalankan ibadah kepada Tuhannya dengan rasa aman, tanpa dibayangi biaya yang mahal dan fasilitas yang jauh dari kenyamanan. Umat akan rida dengan aturan Allah. Allah Swt. berfirman, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi…“ (QS al-A’raf: 96). Wallahualam bissawab.
Oleh: Yuli Mariyam,
Pendidik Generasi Tangguh
Views: 20

















