Tinta Media – Warganet kembali digemparkan dengan beredarnya realitas pahit di kawasan Raja Ampat, yaitu adanya penambangan nikel yang melanggar hukum. (BBC News Indonesia, 6/6/2025)
Raja Ampat bukan hanya menyoal keindahan alam, melainkan kawasan ekologis yang memanjakan mata. Raja Ampat bukan perkara destinasi wisata, melainkan rantai kehidupan yang tiada harganya. Ironisnya, ekosistem ekologis tersebut menjadi porak-poranda akibat watak serakah manusia.
Perlu diketahui, penambangan di Raja Ampat sudah jelas dilarang oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, karena pulau Gag hanya seluas 60 kilometer persegi. Mahkamah Konstitusi juga menguatkan regulasi tersebut dengan Putusan (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 perihal larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir serta pulau kecil.
Mirisnya, izin usaha tambang tetap keluar dan aktivitas penambangan tetap berjalan. Hal ini tentu mengundang kecurigaan publik, layaknya ada permainan tak kasat mata. Lantas, muncul pertanyaan menggelitik dari realitas ini, jika aturan main sudah legal dalam bentuk UU, mengapa IUP bisa terbit?
Pemerintah dan Korporasi
Mengingat bahwa lima perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat mayoritas berstatus Penanaman Modal Asing (PMA), dugaan mengerucut pada kesepakatan antara pemerintah dan korporasi. Pada dasarnya, hubungan kerja sama akan menguntungkan pihak yang bersangkutan. Melihat realitas, pihak pemerintah dan korporasi rela menabrak aturan agar sama-sama untung. Parahnya, rakyat hanya merasakan dampak kerusakan alam.
Gagasan Kapitalisme
Menelisik lebih dalam, sistem ekonomi negeri ini sudah terkontaminasi dengan gagasan kapitalisme. Segala aktivitas bertumpu pada asas untung dan status pemilik modal dalam kapitalisme tak kenal buntung. “Tak peduli pakai cara kotor bahkan menabrak kebijakan, asal punya uang, semua aman.”
Kekacauan ini menimbulkan kecaman dari seluruh kalangan terhadap pemerintah. Akhirnya, menyulut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk berkomitmen menghentikan sementara aktivitas operasional tambang nikel di Raja Ampat.
Sayangnya, kebijakan ini menuai kontroversial publik. Salah satunya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik. Ia menilai kebijakan tersebut hanya taktik semata untuk meredam kritik publik yang kian membludak.
Logika Tak Masuk Akal
Sudah jelas melanggar aturan dan menimbulkan kerusakan permanen, mengapa hanya dihentikan sementara? Parahnya lagi, empat perusahaan diberhentikan, satu perusahaan tetap beroperasi.
Jika pencabutan IUP bertujuan untuk melindungi Raja Ampat, harusnya pemerintah mencabut semua tanpa tersisa. Meninggalkan satu jejak tentu memberikan celah kerusakan, korupsi, dan penderitaan rakyat tanpa ujung.
Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat sangat jelas mengarah pada praktik korupsi. Ini karena korupsi tidak melulu menyoal penggelapan uang tunai. Sekarang, korupsi bisa berkedok di balik perizinan, dokumen penting, diamnya para penguasa terhadap kezaliman, bahkan aktivitas yang melanggar aturan.
Kenyataan pahit ini, membuka mata dan pemikiran seluruh elemen masyarakat. Jika hukum di wilayah Gag bisa dibengkokkan, tentu hal serupa rawan terulang. Di situ ada ladang cuan, pemilik modal pasti datang. Dalam sekejap, kebijakan sesuai pesanan ditetapkan dan rakyat dibungkam.
Tak Mampu Berdikari
Bumi Pertiwi adalah tuan rumah sumber daya alam melimpah, tetapi tidak untuk teknologi canggih, alat industri, dan minimnya optimalisasi sumber daya manusia. Akhirnya, negeri ini tak mampu berdikari dalam mengolah seluruh hasil bumi, sehingga berujung pada kerja sama dengan para pemilik modal.
Negeri ini tidak cukup berani untuk mengambil risiko dan tanggung jawab besar untuk berdikari. Ketergantungan pada pihak swasta sangat kental, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat.
Langkah awal menguraikan benang kusut dari problema ini ialah memahami bahwa pengelolaan sumber daya alam harusnya tidak diserahkan kepada pihak swasta.
Versi Islam
Menariknya, pengelolaan sumber daya alam dalam sistem pemerintahan Islam seluruhnya diserahkan dan dikelola oleh negara. Uniknya, negara hanya bertanggung jawab untuk mengelola dan mendistribusikan hasilnya ke pos masing-masing, yang bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Negara tidak memiliki hak untuk memakan, memanfaatkan, atau menggunakan hasil pengelolaan tersebut untuk kepentingan pribadi, karena sumber daya alam adalah sumber terbesar pemasukan negara, sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud)
Jangan khawatir! Islam mengelola sumber daya alam untuk ri’âyah syu-ûn al-‘ummah atau mengelola urusan umat, tentu tidak akan merugikan alam, penduduk, bahkan ekosistem makhluk hidup. Hal ini dikarenakan Allah melarang keras berbuat kerusakan, di dalam surah Al-A’raf ayat 56.
Mempelajari sejarah yang benar adalah langkah nyata untuk menentukan langkah ke depan. Dalam sejarah Islam, seluruh aturan Sang Pencipta bisa diimplementasikan di dalam kehidupan dengan syarat negara harus berdaulat. Artinya, syariat Islam bisa diterapkan ke seluruh kancah kehidupan, ketika memiliki pemimpin sesuai syarat-syariat dan menerapkan ideologi Islam. Wallahu’alam bishawab. []
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak
(Penulis Ideologis)
Views: 46






