Angka Kemiskinan Turun, Sekadar Data atau Realitas?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin pada tahun 2025 turun 0,10 persen atau sekitar 200 ribu orang. Angka ini dibandingkan dengan September tahun 2024 turun sebanyak 24,06 juta orang atau 8,57 persen dari total penduduk. Dalam dua dekade terakhir, angka ini dinilai rendah dan menjadi yang terendah (tirto.id, 26/7/2025).

Namun, benarkah data ini sesuai realitas di lapangan, mengingat saat ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran? Seperti PHK yang dilakukan oleh PT Sritex, PT Sanken Indonesia, dan lain-lain. Kementerian Ketenagakerjaan merilis data sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 42.385 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dibandingkan tahun lalu sebanyak 32.064 orang, angka ini melonjak 32,19% (CNBCIndonesia.com, 25/7/2025).

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti meragukan soal rilis data BPS karena dinilai tak sesuai fakta yang terjadi di lapangan. Senada pula dengan apa yang diungkap peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet, bahwasanya data BPS tentang kemiskinan perlu ditelaah lebih dalam untuk data pada Maret 2025 ini.

Telaah Garis Kemiskinan

Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tetapi faktanya kemiskinan masih menjadi masalah. Bahkan, daerah Indramayu yang memiliki lahan pertanian terluas di Indonesia dan menyumbang besar terhadap kebutuhan pangan nasional, faktanya kondisi ekonominya memprihatinkan. Menyedihkannya, sebagai kabupaten penghasil garam dan padi terbesar, Indramayu justru menjadi kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi (beritasatu.com, 21/7/2025).

Standar garis kemiskinan di negeri ini juga rendah. Saat ini, BPS mengacu pada metode Purchasing power parity (PPP) 2017, dengan patokan kemiskinan ekstrem sebesar USD 2,15 per hari atau sekitar Rp20.000. Artinya, jika seseorang berpenghasilan sedikit di atas angka tersebut, ia tidak lagi dihitung miskin, meski kenyataannya tetap sulit memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Inilah yang pada akhirnya memunculkan progress semu. Angka kemiskinan seolah turun, tetapi sebetulnya hanya penyesuaian definisi angka. Manipulasi statistik dilakukan untuk menunjukkan progress, meski faktanya tak sesuai realitas yang terjadi. Kapitalisme menciptakan lubang kemiskinan antara yang kaya dan miskin. Kekayaan masih menumpuk di segelintir elit kapital, sementara akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak makin sulit didapat.

Fenomena daerah kaya sumber daya, tetapi rakyat hidup miskin seperti di Kabupaten Indramayu cukup menjadi bukti ketimpangan sosial yang terjadi. Hal ini biasa dalam sistem kapitalisme. Sektor-sektor penting seperti pangan, energi, infrastruktur banyak dikuasi korporasi. Akibatnya, rakyat hidup miskin di tengah keberlimpahan sumber daya alam.

Standar Kemiskinan dalam Islam

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani memiliki pandangan tentang standar kemiskinan, yaitu ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, meskipun ia memiliki rumah, pakaian, atau bahkan budak. Demikianlah sejatinya Islam memandang kemiskinan. Tolok ukurnya adalah per-individu, bukan sekadar dipukul rata dan dinilai dengan angka.

Negara dalam sistem Islam turut andil dalam memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Sebab, hal ini termasuk dalam tanggung jawab negara kepada rakyat. Penguasa dalam negara Islam wajib memastikan rakyat benar-benar memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal itu dilakukan melalui mekanisme penyediaan lapangan kerja, dorongan keluarga untuk membantu saudaranya, hingga kewajiban memberikan bantuan pada rakyat miskin.

Selain itu, Islam memiliki mekanisme aturan kepemilikan. Para kapitalis (pemilik modal) haram hukumnya mengeruk kekayaan negara untuk memperkaya diri sendiri maupun golongan, seperti pengelolaan sumber daya alam, tambang, dan lain-lain. Syariat Islam memetakan kemaslahatan rakyat ini diatur dengan memetakan kepemilikan umum untuk dikelola negara.

Terakhir, distribusi kekayaan harus merata antara si kaya dan si miskin, dan ini harus dipastikan oleh negara. Sebagaimana firman Allah Swt.

“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Berkaca  pada Masa Khalifah

Demikianlah, jika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan. Syariat Islam akan membawa kemaslahatan untuk seluruh rakyat. Kita adalah hamba, maka alamiahnya adalah taat pada aturan pencipta kita.

Dalam catatan sejarah, kesejahteraan rakyat pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz. Meskipun beliau memerintah selama kurang lebih tiga tahun, tetapi rakyat hidup dalam garis kesejahteraan. Selama itu, rakyat hidup berkecukupan, bahkan disebut sampai tidak terkategori penerima zakar. Bahkan, sang khalifah sampai mencari pemuda yang ingin dibantu menikah dan melunasi utang-utang rakyatnya.

Demikianlah, sejatinya bumi Allah Swt. lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Hanya saja, keserakahan manusia yang menjadi sebab terwujudnya ketimpangan merajalela.

 

Oleh: Ismawati

Sahabat Tinta Media

Views: 8

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA