Tinta Media – Penyelenggaraan haji pada tahun 1446 H/2025 kembali menarik perhatian. Sejumlah jemaah menyatakan ketidakpuasan terhadap kualitas layanan dan lemahnya manajemen dalam penyelenggaraan haji kali ini. Kementerian Agama (Kemenag) yang bertanggung jawab dianggap tidak bisa merespon dengan cepat terhadap berbagai perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
Dilansir dari kompas.com, (8/6/2025), Tim Pengawas Haji DPR Adies Kadir menilai bahwa Kementerian Agama kurang mempersiapkan pelaksanaan ibadah haji 2025. Beberapa masalah yang terjadi seperti jemaah yang diusir dari area istirahat di malam hari, jemaah yang ketinggalan rombongan, serta keterlambatan dalam pengadaan konsumsi dan distribusi petugas haji yang tidak merata di beberapa lokasi yang ramai. Jemaah dibiarkan tanpa bantuan.
Sementara itu, anggota Timwas Haji yang lain, Abdul Fikri Faqih juga menekankan banyaknya permasalahan yang muncul sejak keberangkatan, di antaranya banyak jemaah terpisah, termasuk suami istri, pembimbing.
Beliau menyebutkan bahwa keterlambatan transportasi jemaah menuju Arafah menjadi salah satu masalah serius yang muncul menjelang puncak haji. Jemaah yang sudah mengenakan kain ihram sejak Rabu pagi, 4 Juni 2025 waktu Arab Saudi, terpaksa menunggu tanpa kepastian. Hingga Kamis pagi, mereka baru dapat berangkat. Setiba di Arafah, para jemaah haji mengalami situasi tenda yang penuh, tetapi tetap dipaksakan untuk diisi.
Peristiwa pemulangan jemaah haji ke Indonesia sebelum puncak haji juga terjadi. Dikutip dari republika.id (02/06/2025), Heri yang berangkat bersama istri, ayah, dan ibunya yang sudah lansia dipulangkan dari Jeddah ke Indonesia hanya dengan mengenakan kain ihram tanpa koper. Pasalnya, hanya Heri yang tidak bisa masuk ke Arab Saudi karena visanya ada yang membatalkan sepihak dan dinyatakan tidak lolos pemeriksaan, meski semua dokumen lengkap.
Ini jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, Sabtu (07/06/2025), seperti dikutip dari Antara (bbc.com, 10/6/2025), “Alhamdulillah secara umum pelaksanaan ibadah haji tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, dilihat dari segi fasilitas yang disiapkan Saudi Arabia, termasuk kemah, dan juga air, lalu jumlah kematian berkurang karena bertambah rumah sakit dan klinik-klinik di beberapa tempat.”
Masalah dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini jelas tidak bisa dipisahkan dari kewajiban pemerintah dalam mengelola ibadah tersebut. Banyak aspek yang kurang diperhatikan dengan serius, sehingga menimbulkan berbagai kekacauan, terutama pada saat Armuzna.
Salah satu masalah utama yang diangkat adalah ketidakmampuan Kemenag untuk mempersiapkan pengurangan jumlah syarikah atau perusahaan yang menyediakan layanan haji.
Ketidakmampuan ini berpengaruh langsung pada berbagai aspek layanan, termasuk penempatan hotel jemaah yang tidak sesuai dengan harapan, kurangnya dukungan bagi jemaah lansia, serta minimnya koordinasi antara pemimpin rombongan dan jamaah yang mereka bimbing.
Kebijakan terkini yang diterapkan oleh pemerintah Saudi disebut sebagai pemicu masalah ini. Namun pada kenyataannya, semua ini berhubungan dengan pengelolaan haji di Indonesia. Oleh karena itu, kesalahannya tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyangkut paradigma. Semua bermula dari komersialisasi ibadah haji dan hilangnya tanggung jawab pemerintah dalam hal ini.
Negara menyerahkan pengelolaan haji kepada lembaga swasta dan kurang melakukan pengawasan. Lembaga swasta tersebut tentu memiliki tujuan mencari keuntungan, bukan memperhatikan kesejahteraan jemaah. Negara menghindar dari tanggung jawab, sementara lembaga tersebut lebih memprioritaskan keuntungan, sehingga jemaah menjadi korban.
Haji tidak lagi dianggap sebagai kewajiban yang harus dikelola dengan baik oleh negara, melainkan dipandang sebagai aset ekonomi yang sangat menguntungkan. Ibadah haji pada akhirnya dijadikan ladang bisnis demi keuntungan sebagian kecil pejabat dan orang-orang dekatnya.
Komersialisasi ibadah haji terjadi akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Akibatnya, hawa nafsu untuk memperkaya diri lebih dominan dibanding tanggung jawabnya terhadap umat. Ini terbukti dengan banyaknya korupsi terhadap dana haji hingga menyeret sejumlah menteri agama dari beberapa periode.
Hal Ini sangat jauh berbeda dengan pengelolaan haji dalam sistem Islam. Islam menetapkan haji sebagai rukun Islam, yang diwajibkan bagi setiap umat Islam yang memiliki kemampuan.
Pelaksanaan ibadah haji seharusnya mempermudah para jemaah dalam melaksanakan ibadah, termasuk penyediaan sarana, prasarana selama haji, seperti akomodasi, tenda, dan berbagai keperluan di Armuzna, serta layanan transportasi dan kebutuhan konsumsi, dan lain-lain. Semua hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, sebab dalam Islam, pemimpin memiliki kewajiban untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan rakyat dengan baik, termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji.
Negara akan menyediakan sistem yang paling efektif, administrasi yang optimal, serta pelayanan unggulan untuk para tamu Allah. Jika pengelolaan diserahkan kepada Haramain, itu tetap dalam pengawasan dan pengelolaan negara Islam, yaitu Khilafah, yang membawahi seluruh wilayah umat Islam.
Layanan yang paripurna hanya dapat terwujud jika sistem keuangan negara berada dalam keadaan yang kuat. Hal ini bisa tercapai ketika negara Khilafah menjalankan sistem perekonomian, keuangan, dan moneter Islam yang memastikan keberlimpahan harta Baitul Mal negara dari berbagai sumber pendapatan yang besar dan beragam.
Khilafah melakukan beberapa langkah terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji
Pertama, Khalifah mengangkat petugas khusus untuk memimpin dan mengatur pelaksanaan haji dengan sebaik mungkin. Rasulullah saw. pernah menugaskan ‘Utab bin Asad, serta Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk mengelola dan memimpin jemaah haji. Begitu pula pada masa khalifah-khalifah setelahnya, selalu ada orang khusus tertentu yang diberikan tanggung jawab untuk mengurus pelaksanaan ibadah haji, seperti yang terjadi pada masa Khalifah Utsman r.a. Saat itu, pengiriman jemaah haji sempat dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf r.a.
Kedua, biaya untuk ibadah haji akan disesuaikan dengan anggaran yang diperlukan oleh para jemaah dan tidak membebani mereka.
Ketiga, khalifah memiliki kewenangan untuk mengatur jumlah kuota haji dan umrah. Para calon jemaah yang belum pernah menjalankan ibadah haji akan mendapatkan prioritas. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi waktu tunggu keberangkatan calon jemaah haji.
Keempat, visa untuk haji dan umrah tidak diperlukan, karena umat Islam dianggap berada dalam satu wilayah yang sama.
Kelima, khalifah akan membangun berbagai fasilitas demi mempermudah dan memberikan kenyamanan bagi jemaah. Komitmen Khilafah terhadap pelaksanaan ibadah haji bukan hanya sekadar janji, tetapi juga terlihat jelas dalam sejarah yang menunjukkan betapa seriusnya Khilafah menangani masalah ini. Contohnya bisa dilihat dari pembangunan sistem transportasi massal yang menghubungkan Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut para jemaah haji pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, yang lebih dikenal dengan nama Kereta Api Hijaz.
Sungguh, Khilafah secara nyata melayani para tamu Allah sesuai dengan syariat Islam. Kehadiran mereka menjamin bahwa urusan umat dapat berjalan dengan lancar dan khusyuk beribadah.
Wallahu s’lam bish shawab.
Oleh: Azizah
Sahabat Tinta Media
Views: 21