Janji 10.000 Lapangan Kerja: Retorika Kapitalis di Tengah Rakyat yang Kian Terjepit

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Setiap kali pergantian rezim, rakyat selalu disuguhi janji manis, yaitu lapangan kerja baru, ekonomi tumbuh, dan kesejahteraan meningkat. Kini, komitmen menciptakan 10.000 lapangan kerja per tahun kembali digaungkan. Kali ini oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna bersama wakilnya Ali Syakieb. Program yang digagas dengan tajuk 10.000 Wirausaha Muda dan Lapangan Kerja per tahun ini diklaim telah menunjukkan hasil positif. Data pemerintah Kabupaten Badung mencatat angka pengurangan berhasil turun dari 8,32 persen menjadi 6,32 persen dalam kurun waktu 3 tahun.
 
Melalui Dinas Tenaga Kerja, Pemkab Bandung rutin menggelar _job fair_ bertajuk “Job Fair Spirit Bedas”  yang menghadirkan 157 perusahaan dengan lebih dari 3.000 lowongan kerja, termasuk peluang kerja di luar negeri dan program magang ke luar negeri. Selain itu, pemerintah daerah juga menyediakan berbagai pelatihan wirausaha bagi generasi muda, mulai dari makeup artis, pelatihan vokasi, hingga mengirim anak-anak magang ke Jepang dan Korea hingga program pinjaman bergulir tanpa bunga jaminan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. (rmoljabar.id, 02/10/2025)
 
Sekilas, semua ini tampak menggembirakan. Seolah pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama, apakah penurunan angka, pengurangan dan pelatihan wirausaha ini benar mencerminkan kesejahteraan hakiki atau hanya sekedar kosmetik politik dalam bingkai sistem kapitalisme yang timpang?
 
Di bawah sistem kapitalisme, wirausaha didorong bukan untuk membebaskan rakyat dari jerat ekonomi, melainkan agar mereka tetap menjadi bagian dari roda pasar bebas. Lapangan kerja diciptakan bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi untuk menopang arus investasi dan kepentingan pemodal.
 
Sistem kapitalisme selalu menjadikan lapangan kerja sebagai solusi instan tanpa mengubah akar masalahnya. Ketika peluang kerja dibuka, yang diuntungkan tetaplah korporasi besar. Rakyat hanya menjadi tenaga kerja murah yang menopang pertumbuhan ekonomi di tengah mahalnya biaya hidup. Pertumbuhan ekonomi versi kapitalis adalah pertumbuhan yang tidak pernah benar-benar dirasakan oleh masyarakat kecil. Maka, meski angka pengangguran dan kemiskinan menurun, ketimpangan sosial tetap menganga besar dan hidup rakyat kecil tetap sengsara.
 
Inilah jebakan sistem kapitalisme yang mengukur keberhasilan dari angka, bukan kesejahteraan. Juga dari jumlah pengusaha muda, bukan dari sejauh mana rakyat bisa hidup layak. Serta dari banyaknya investasi, bukan dari terjaminnya hak dasar warga negara. Padahal, Islam memandang kerja dan wirausaha bukan sekedar aktivitas ekonomi, tetapi bagian dari tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyat secara menyeluruh.
 
Dalam sistem Islam, penciptaan lapangan kerja tidak bertumpu pada investasi asing atau mekanisme pasar bebas, melainkan pada pengelolaan negara yang berlandaskan syariat. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tanpa harus menyerahkan urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Negara juga berperan aktif membuka peluang kerja dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan menyalurkannya untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir investor.
 
Islam juga mengatur mekanisme kepemilikan, sistem distribusi kekayaan, dan kebijakan ekonomi yang mencegah penumpukan harta di tangan segelintir orang. Khalifah sebagai kepala negara wajib menjamin rakyat memiliki akses kerja dan sumber penghidupan yang layak, bukan sekadar memberikan pelatihan tanpa arah.
 
Dengan sistem Islam, kesejahteraan bukan janji politik, tetapi konsekuensi dari penerapan hukum Allah secara menyeluruh. Artinya, solusi atas pengangguran tidak cukup dengan pelatihan dan pinjaman tanpa bunga. Selama sistem yang menopang ekonomi masih kapitalistik, maka kondisi perekonomian yang stabil dan rakyat yang sejahtera hanyalah utopis.
 
Perubahan hakiki hanya akan terjadi ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh yang menjadikan kesejahteraan bukan sebagai alat pencitraan, melainkan kewajiban syar’i yang harus diwujudkan oleh penguasa. Maka, janji menciptakan 10.000 lapangan kerja per tahun boleh jadi terdengar menginspirasi. Namun, tanpa perubahan sistemis, semua itu hanya akan menjadi retorika yang indah di panggung politik, tetapi hampa di perut rakyat. Wallahualam bissawab.

Oleh: Ai Ummu Putri
Sahabat Tinta Media

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA