Kembali ke Zaman Orba, Presiden Dipilih MPR, Apakah Solusi?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Baru-baru ini muncul sebuah wacana terkait dengan pemilihan presiden sebaiknya dipilih kembali oleh MPR. Wacana ini terang-terangan
disampaikan oleh mantan ketua MPR Amien Rais, saat dirinya bertemu pimpinan MPR
di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, (5-6-2024). Amien mendorong adanya
amandemen UUD 1945 berupa pemilihan presiden oleh MPR. Menurut Amien Rais
pemilihan umum yang langsung dipilih oleh rakyat (pemilu langsung) justru
rentan dengan praktik money politik atau politik uang (Rakyat Merdeka,
8-6-2024).

Namun usulan ini, dianggap dapat mengembalikan sistem
politik Indonesia mundur ke zaman orde baru (Orba). Zaman Orba MPR memang
dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, 
bahkan sebelum Orba yakni zaman orde lama (Orla) masa Soekarno,  MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang
termaktub dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) yakni pasal 1 ayat 2. Karena
wewenangnya sebagai lembaga negara tertinggi inilah yang membuat MPR dapat
melantik Presiden dan Wakil Presiden.

Respons Tokoh dan Politisi

Usulan terkait wacana tersebut ternyata mendapat respons
dari berbagai pihak. Sejumlah politisi rame-rame menolak usulan tersebut,
bahkan memunculkan berbagai argumentasi lain terkait dengan pemilihan Gubernur,
Bupati dan Wali Kota.

Deputi Bapillu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani
menyatakan bahwa partainya tidak setuju dengan usulan Pilpres dikembalikan ke
MPR RI. Menurutnya hal itu merupakan langkah mundur atas derajat dan kualitas
demokrasi yang telah terbangun sebagai amanah reformasi.  Kamhar juga melanjutkan, bahwa proses pemilu
yang bersifat transaksional dan berbiaya politik tinggi akibat memberikan
‘karpet merah’ pada para pemilik modal atau kroni penguasa. (Viva.co.id,
7-6-2024).

Demokrasi Menyuburkan Politik Uang dan Oligarki

Pelaksanaan politik terutama pemilu yang bersifat
transaksional tentunya bukan kali ini saja terjadi. Hal tersebut sudah
berlangsung lama yakni sejak Indonesia menyatakan diri menerapkan demokrasi.
Politik uang selalu akan berbarengan dengan kekuatan oligarki yakni pemilik
modal, hal tersebut dianggap lumrah dilakukan dalam sistem ini. Bagaimana
tidak, modal untuk melaju dalam pemilu atau pilkada membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Alhasil calon atau kandidat yang menang nantinya tentu akan
berpikir bagaimana mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan untuk dapat
melanggeng ke kursi kekuasaan. Menerima suap, gratifikasi atau tindak korupsi
lainnya tidak ayal akan mereka lakukan, bahkan halal haram bukan sesuatu yang
penting untuk mereka pikirkan.

Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, masyarakat pun sudah
terbiasa dijejali dengan hal-hal yang bersifat tabu atau dosa. Masyarakat juga
menikmati timbal balik dari Politik uang tersebut, semisal menerima serangan
fajar saat menjelang pemilu, mendapat hadiah atau sembako, yang bagi sebagian
mereka merupakan rezeki yang tidak boleh di tolak apalagi di tengah impitan
perekonomian.

Lama kelamaan masyarakat seakan mewajarkan serta menganggap
biasa apa-apa yang dilakukan para pejabat saat tertangkap tangan melakukan
politik uang atau tindak korupsi. Dan di sinilah para pemilik modal atau
oligarki memerankan peranan penting, para oligarki akan sangat mudah untuk
memuluskan jalan para kandidat untuk meraih kekuasaan. Para oligarki juga akan
sangat mendukung secara finansial saat kandidat melakukan strategi kampanye
secara jor-joran, maupun melakukan pencitraan untuk mendapat suara konstituen
di wilayah pemilihan mereka.

Maka jangan heran, apa pun yang menjadi keresahan terkait
aturan demokrasi tidak akan mengubah sistem ini menjadi lebih baik. Kecurangan
memang bisa saja terjadi, baik dalam tataran individu, kelompok, maupun sistem
negara apa pun. Namun dalam sistem demokrasi 
politik uang dan oligarki merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Kuatnya pengaruh oligarki di negeri ini merupakan konsekuensi dari
penerapan sistem demokrasi yang bermuara pada sistem kapitalisme. Penguasa
negeri ini telah di tunggangi oligarki dan menjadikan  penguasa menjajah rakyatnya sendiri. Fungsi
dan peran negara untuk mengayomi, melindungi dan menyejahterakan rakyatnya
tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Maka walaupun Presiden di pilih secara langsung maupun
melalui lembaga MPR, hal tersebut tidak akan mempengaruhi praktik Money politik
atau politik uang. Hal tersebut akan terjadi 
selama sistem demokrasi masih menjadi solusi bagi sistem negara ini.

Pemilihan Pemimpin Negara dalam Islam

Sistem demokrasi lahir dari asas sekularisme yakni pemisahan
agama dari kehidupan,  sehingga demokrasi
menafikan agama sebagai aturan dalam kehidupan politik, sosial, pergaulan dan
sebagainya. Aturan-aturan yang dipakai dalam sistem demokrasi adalah
seperangkat aturan yang di buat oleh manusia. Gonta-ganti aturan kebijakan
menurut apa kata  penguasa merupakan hal
yang lumrah. Oleh sebab itu jika diliat dari asas berdirinya, sistem demokrasi
dalam kacamata Islam terkategori sistem yang batil, sebab sistem demokrasi  tidak mengakui kedaulatan pembuat hukum pada
Allah Swt melainkan manusia.

Berbeda dengan sistem Islam yang merupakan pancaran aqidah
menyeluruh yang melahirkan aturan, tidak ada pemisahan antara agama dengan
seluruh kehidupan manusia. Islam memandang hakikat kekuasaan merupakan
perpanjangan dari kedaulatan Allah Swt. Tujuan negara dalam Islam adalah dalam
rangka menegakkan hukum-hukum Allah dan khalifah sebagai pemimpin negara
berusaha untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat.

Oleh sebab itu kewajiban mengangkat seorang khalifah
ditetapkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah dan Ijma’ Sahabat.  Adapun mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam
tergolong sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Kriteria pemimpin
pun sangat umum yakni kriteria yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu, muslim,
balig, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas sebagai
khalifah.

Khalifah atau pemimpin dalam Islam sifatnya sebagai
pengganti Nabi saw dalam memimpin umat, dan mekanismenya dilakukan melalui
lembaga syura atau Ahlul Halli wal ’Aqdi. Pengangkatan khalifah dilakukan
melalui bai’at dari umat, baik laki-laki maupun perempuan yang menyatakan taat
setia kepada khalifah.  Ketentuan bai’at
menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga
umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih untuk di bai’at. Hal
tersebut sesuai dengan Hadits dari Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari
Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:

بَايَعْنَا
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ
فِي الْمَنْشَطِ
وَالْمَكْرَهِ
وَأَنْ لَا نُنَازِعَ
الْأَمْرَ
أَهْلَهُ
وَأَنْ نَقُومَ
أَوْ نَقُولَ
بِالْحَقِّ
حَيْثُمَا
كُنَّا لَا نَخَافُ
فِي اللَّهِ
لَوْمَةَ
لَائِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan
menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar
kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami
mengerjakan atau mengatakan yang Haq di mana saja kami berasa, tidak takut
kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).

Untuk itu ketiadaan pemimpin Islam menyebabkan hukum-hukum
syariat tidak terlaksana dan hal tersebut menjadi perkara  wajib yang harus segera dilaksanakan oleh
seluruh umat Islam. Wallahu a’lam bis-showab.

Oleh: Amelia Al Izzah, Sahabat Tinta Media 

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA