Tinta Media – Kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) meningkat tajam dalam waktu tiga pekan terakhir ini. Kasusnya pun terjadi di berbagai daerah. Korbannya mencapai ribuan dengan jumlah kasus 70 lebih. Beberapa daerah sampai menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atas kasus ini. Kasus keracunan terbaru di Jawa Barat menimpa 12 siswa SDN Legok Hayam, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Kasus keracunan pun terjadi di Kabupaten Bandung Barat mencapai 1.000 lebih siswa terdampak. Total korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 telah tembus 10.482 anak. (detik.com, 06/10/2025)
Gejala yang muncul berupa mual, pusing, dan muntah. Terjadi beberapa kasus sampai muncul ruam dan mengalami kejang-kejang. Sejauh ini, para korban keracunan memang tak ada yang mengalami kondisi parah. Mereka bisa langsung pulang usai mendapat penanganan medis. Jika pun ada yang dirawat, hanya beberapa hari, kemudian dipulangkan. Kasus keracunan serempak ini menjadi sorotan serius meski tidak ada korban jiwa.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menegaskan program MBG perlu pengawasan ketat terhadap kualitas makanan serta standarisasi dan pelatihan ahli gizi. (detikjabar.com, 15/09/2025)
MBG sebagai program strategis nasional menargetkan anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui dan balita. Akan tetapi, fakta di lapangan program ini jelas amburadul. Kebijakan ini terlihat belum siap dan matang, hanya sekadar merealisasikan janji kampanye saja. Dana pengadaan MBG menguras APBN 2025 sebesar Rp171 triliun yang membuat pemerintah harus memutar otak karena krisis APBN yang dihadapi. Bahkan, tahun 2026 MBG direncanakan akan menghabiskan dana APBN Rp335 triliun. Badan Gizi Nasional yang dibentuk dan ditunjuk mengelola MBG mendapat 80% dana pengelolaan untuk disebar ke unit-unit SPPG. Bila pengawasan pengelolaannya tidak tersistem dengan baik dan ketat, maka peluang besar akan terjadi penyimpangan dan penggelapan dana. Terbukti, ada 361 titik SPPG yang bodong di Kabupaten Bandung. Itu baru di satu kabupaten, belum di daerah lain.
Tak ayal program ini menjadi bancakan kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin menikmati cipratan dana program ini. Mereka tidak mengindahkan standar kelayakan dapur penyedia MBG. Akhirnya, berdampak pada munculnya kasus-kasus keracunan. Hal Ini wajar terjadi. Meskipun dapur bodong, yang penting meraup banyak keuntungan. Dalam kapitalisme, kaidah menghalalkan segala cara akan selalu berlaku.
Belum lagi alokasi anggaran per porsi sebesar Rp15.000 disunat hingga menjadi Rp7.000. Bisa dibayangkan seperti apa menu yang tersaji bila standarnya harus lengkap nasi, sayur, lauk pauk, buah, dan susu? Kualitasnya pun jangan ditanya. Alih-alih dengan usulan pengawasan ketat atau penyediaan pelatihan ahli gizi, yang ada justru makin menambah beban APBN.
Berbagai masalah MBG berakar dari keberadaan MBG itu sendiri yang tidak tepat dalam mengatasi kemiskinan, gizi buruk, dan stunting yang selama ini dijadikan dasar pengadaan program. Beginilah cara kerja kapitalis dalam memberikan solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan dan bersifat parsial serta memunculkan masalah baru.
Sebaliknya, Islam memberikan solusi dan pandangan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok, baik makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah tanggung jawab negara. Negara juga tidak boleh abai dalam menyokong kemampuan kepala keluarga dengan memberi peluang dan kemudahan untuk memperoleh pekerjaan atau jalan mencari nafkah. Dalam kasus tertentu, seperti kepala keluarga terhalang mencari nafkah entah karena sakit dan lain sebagainya, negara akan bertindak memberi bantuan secara langsung hanya sampai sang kepala keluarga mampu mandiri kembali.
Oleh karenanya, sebaiknya MBG dihapuskan saja. Lebih baik negara fokus pada upaya memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan tersedianya lapangan kerja yang banyak dan luas, perbaikan layanan di segala bidang, baik pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, dll. sehingga anggaran negara bisa digunakan pada hal-hal yang tepat sasaran.
Itu semua dalam mind frame (cara berpikir) bahwa negara menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajibannya kepada rakyat, bukan sebagai penyedia layanan berbasis bisnis seperti halnya pemerintahan kapitalis. Tentu negara yang dapat melakukan hal ini hanyalah Daulah Khilafah Islamiyyah. Wallahualam bissawab.
Oleh: Ummu Qiya
Sahabat Tinta Media
Views: 3

















