Labbaik Allahumma labbaik.
Labbaika laa syarika laka labbaik.
Innal hamda, wa nikmata, laka wal mulk laa syarikalak.
Tinta Media – Lantunan talbiyah memenuhi bumi Haramain, Makkah al Mukarromah. Para tamu Allah yang berjuta jumlahnya memenuhi panggilan rukun Islam kelima. Tak sedikit yang mereka keluarkan, mulai dari harta, antrean yang mencapai puluhan tahun, bahkan dalam keadaan renta. Namun, semua itu tak menyurutkan langkah ke Baitullah.
Tak hanya berita gembira, musim haji juga membawa banyak berita, termasuk adanya temuan tim pengawas haji DPR dalam menyelenggarakan ibadah haji 2025. Mereka menyatakan adanya tenda jemaah yang over kapasitas, yakni mencapai 300 jemaah pada satu tenda. Padahal, normalnya hanya diisi oleh 200 jemaah, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya harus tidur di luar tenda atau di musalah (Tempo, 3/06)2025).
Penyelenggaraan haji sudah menjadi rutinitas tahunan. Banyaknya jemaah sudah terhitung jumlahnya. Namun, kekisruhan masih saja terjadi, terutama saat wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina atau disingkat dengan Armuzna. Hal ini tentu saja menjadi evaluasi bagi penyelenggara.
Meski kebijakan baru yang dikeluarkan Arab Saudi dituding sebagai penyebabnya, tetapi penyelenggara dari tanah air juga tidak lepas dari evaluasi tersebut. Hal itu dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2019 yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan seluruh aspek penyelenggaraan haji, mulai dari kebijakan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Kementerian Agama bertanggung jawab langsung atas penyelenggaraan haji reguler.
Kisruh yang berulang bukan tanpa sebab. Kapitalisme menjadi biang segala kekacauan. Amanah bukan lagi menjadi prioritas ketika manusia dengan ideologi ini bertemu dengan segepok uang yang dihasilkan jemaah dari peluhnya selama bertahun-tahun. Keuntungan-l dan keuntungan adalah pertimbangan utama penyelenggara, bukan riayah (pemeliharaan urusan) sebagaimana seorang bapak kepada anaknya, yang akan memberikan apa pun tanpa memikirkan untung atau rugi.
Negara sebagai raain (pemelihara urusan rakyat) seharusnya menyiapkan mekanisme terbaik dengan birokrasi dan pelayanan premium kepada tamu Allah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala atas amanah yang dipikulnya.
Saling menyalahkan tidak akan membawa perubahan. Allah Subhanahu wata’alaa sudah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Pengaturan paripurna yang menyangkut teritorial sampai ekonomi tidak akan pernah terjadi jika kaum muslimin masih tersekat dengan nasionalisme.
Khilafah sebagai satu-satunya institusi Islam yang pernah ada 1400 tahun lamanya telah menjawab bahwa kesatuan kaum muslimin seluruh dunia dalam bingkai daulah Islam yang menerapkan syariat islam mampu memberikan pelayanan terbaik. Pada tahun 1900 M, Khalifah Abdul Hamid II memerintahkan pembangunan jalur rel kereta api Hejaz (Hijaz Reilway) dengan tujuan memudahkan perjalanan jemaah haji dari berbagai negara menuju ke Mekkah, menggantikan perjalanan dengan naik onta atau kuda yang memakan waktu berbulan-bulan.
Adanya inovasi dan teknologi dalam daulah tidak hanya bertujuan memudahkan umat dalam beribadah, tetapi kedudukannya sebagai syiar Islam terhadap dunia agar menerima Islam sebagai agama dan ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal, serta menentramkan hati. Keberadaan Islam sebagai mabda atau ideologi yang senantiasa diemban oleh individu-individu muslim akan ditularkan dan disebarluaskan sehingga bisa diterapkan hukum-hukumnya dalam kehidupan. Hal itu bukanlah penjajahan, melainkan sebuah misi pembebasan terhadap penghambaan, dari yang tadinya menyembah makhluk atau menghamba pada sistem kufur menjadi menyembah hanya kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu wata’ala semata.
Sebagai contoh, penyebaran Islam di Habasya atau Etiopia yang merupakan kota hijrah pertama kaum muslim. Habasya yang menjalankan isi Al Kitab (Injil) menerima dakwah Islam dan membebaskan rakyatnya untuk menerima dan beribadah sesuai dengan keimanan Islam. Tidak hanya itu, kehidupan Habasyah yang terkenal dengan kemiskinannya menjadi membaik saat Islam berjaya. Selain jiwa dan harta mereka terjaga, zakat dari Baitul Maal mal di Madinah pun sampai kepada orang-orang yang berhak mendapatkan dari wilayah tersebut.
Sistem Khilafah mempunyai cara sendiri di dalam mengatur keuangannya. Akan ada banyak pemasukan yang memenuhi Baitul Maal, baik dari zakat yang dikeluarkan kaum muslimin, _kharaj _dari tanah yang dibebaskan dengan jihad, _jizyah_ bagi nonmuslim yang tinggal di daulah, juga dari pengelolaan sumber daya alam atau harta kepemilikan umum, seperti air, tambang gas atau minyak bumi, maupun padang rumput atau hutan belantara. Semua itu akan dikelola negara dan haram diberikan kepada perorangan atau swasta seperti pada sistem kapitalis.
Inilah penyebab ketakutan terbesar para kapital dunia yang mencakarkan kuku-kukunya di negri-negri muslim untuk menguasai sumber daya alam dengan berbagai tipu daya. Peperangan, baik dengan fisik maupun dengan legalitas undang-undang, semuanya dilakukan hanya demi memuaskan perut dan menggembungkan kantong-kantong mereka atas kelemahan kaum muslimin. Maka, tak ada yang lebih urgen bagi muslimin dunia selain bersatu kembali dalam sistem Islam, sehingga ibadah tahunan haji bisa terlaksana dengan baik dan tanpa kekisruhan. Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Yuli Mariyam
Pendidik Generasi Tangguh
Views: 16