Tinta Media – Kebijakan terkait kebolehan aborsi bagi para korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual, menuai polemik. Kebijakan tersebut
telah diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 terkait Kesehatan (tirto.id, 30/7/2024).
Kutipan pasal tersebut menyebutkan bahwa aborsi adalah perbuatan terlarang,
namun ada beberapa pengecualian, yakni bagi seseorang yang terindikasi darurat
secara medis, atau terhadap korban
pemerkosaan atau korban kekerasan seksual lainnya.
Kehamilan akibat tindakan perkosaan atau akibat tindak
pidana kekerasan seksual harus mampu dibuktikan melalui surat keterangan dokter
atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak
pidana kekerasan seksual lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil
Nafis mengatakan bahwa pasal terkait aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2023 tentang Kesehatan masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam
(mediaindonesia.com, 1/8/2024). Cholil juga menjelaskan bahwa aborsi hanya
dapat dilakukan ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan, serta
usia kehamilan sebelum 40 hari atau saat sebelum peniupan ruh. Ketentuan aborsi akibat tindakan perkosaan
harus ada batasan usia, yaitu sebelum ditiupkan ruh. Demikian lanjutnya.
Refleksi Buruknya Sistem
Kebolehan aborsi dianggap sebagai solusi atas kasus pidana
pemerkosaan yang kian marak. Padahal sebetulnya, tindakan aborsi hanya akan
menambah beban korban, karena proses aborsi tetap berisiko terhadap nyawa.
Pelaksanaan aborsi mestinya disandarkan pada alasan kuat yang diatur oleh
aturan yang jelas dan tegas. Tidak hanya asal dilakukan terhadap korban
pemerkosaan.
Banyaknya kasus pidana aborsi di negeri ini menunjukkan
betapa rendahnya tingkat keamanan hidup perempuan. Perempuan selalu dijadikan
sasaran dan korban kejahatan. Meskipun beragam regulasi terkait perlindungan
perempuan telah banyak ditetapkan, namun keberadaannya sama sekali tidak mampu
menjadi perisai pelindung bagi nasib perempuan. Faktanya, kekerasan terhadap
perempuan kian marak dan tidak terkendali.
Inilah potret sistem kapitalisme liberalistik. Sistem rusak
ini telah gagal mewujudkan perlindungan pada nasib perempuan. Perempuan terus
didera derita tanpa henti. Sementara, negara yang mestinya melindungi justru
abai menjaga. Sistem kapitalisme tidak akan pernah mampu mewujudkan
perlindungan perempuan. Karena sistem inilah yang menjadi biang kerok
terjadinya pemerkosaan dan tindak asusila lainnya.
Sistem kapitalisme menjadikan cara pandang masyarakat hanya
berkutat pada kepuasan jasmaniyah, termasuk kepuasan seksual yang dianggap
harus dipuaskan dan dicurahkan agar mampu tercipta keseimbangan. Konsep ini
jelas-jelas sebagai konsep keliru yang merusak dan menjadikan perempuan sebagai
barang murahan. Paradigma yang dimiliki sistem ini telah membentuk pemikiran
masyarakat yang serba bebas tanpa batas, alias liberalisme. Sistem rusak ini
telah mengabaikan peran nilai dan norma agama dalam membentuk dan menjaga
perilaku dan pola pikir manusia. Wajar saja, masyarakat begitu mudah melakukan
kejahatan dan kemaksiatan.
Fakta ini pun kian parah keadaannya, saat sistem hukum yang
ada sangat lemah, tidak mampu tegas mengendalikan berbagai tindakan kejahatan
dan kriminalitas. Hukuman yang ada pun jauh dari efek jera. Sehingga kejahatan
makin merajalela dan mengancam masyarakat. Penerapan kebijakan legalisasi
aborsi sama saja dengan melegalkan kejahatan.
Sungguh ironi. Negara yang mestinya melindungi, justru telah
membuka jurang kerusakan bagi seluruh rakyatnya. Tidak bisa dipungkiri, dengan
kebijakan legalitas aborsi, kejahatan bukannya terkendali, justru malah
difasilitasi.
Islam dan Perlindungan Perempuan
Sistem Islam, satu-satunya sistem yang mampu memuliakan
perempuan. Sistem shahih ini telah terbukti memberikan jaminan keamanan atas
perempuan secara utuh dan menyeluruh.
Rasulullah SAW. bersabda,
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab
atas urusan rakyatnya”
(HR. Al Bukhori)
Negara sebagai institusi pelindung, mampu secara sempurna
menetapkan mekanisme dan strategi penjagaan bagi seluruh rakyat, termasuk
perempuan. Inilah institusi khilafah. Satu-satunya wadah yang menerapkan
syariat Islam yang kaffah.
Khilafah menetapkan berbagai strategi khas terkait penjagaan
dan perlindungan kemuliaan umat.
Pertama, menetapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.
Pendidikan ini mampu membentuk kepribadian Islam yang niscaya menjaga pola
pikir dan pola sikap agar senantiasa menjadikan syariat Islam sebagai tuntunan
utama. Dengan konsep ini, kejahatan dan kriminalitas termasuk perkosaan mampu
dieliminasi secara efektif.
Kedua, sistem Islam menerapkan sistem pergaulan yang
mengatur pola interaksi laki-laki dan perempuan. Dengan strategi ini, konsep
syariat mampu ditaati secara sempurna, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Ghadul bashar bagi laki-laki dan menutup aurat bagi perempuan. Khilafah pun
mampu menetapkan regulasi yang melarang segala bentuk tontonan, konten atau
semacamnya yang dapat merangsang syahwat. Secara umum, kejahatan seksual
berasal dari rangsangan luar. Sehingga ketegasan regulasi terkait hal ini bersifat
urgent (darurat).
Ketiga, Islam memiliki kontrol sosial yang ampuh menjaga.
Saling menasihati dalam kebaikan sebagai bentuk ketundukan pada syariat Islam.
Keempat, khilafah menetapkan penjaminan terhadap keamanan
seluruh umat, termasuk perempuan melalui mekanisme sistem sanksi yang bersifat
jawabir (paksaan/hukuman) dan zawajir (pencegahan). Dengan strategi tersebut,
setiap sanksi akan melahirkan efek jera bagi pelaku dan tidak akan terulang
lagi di tengah umat.
Betapa sempurna perlindungan dan jaminan keamanan perempuan
dalam dekapan sistem Islam. Hanya dengannya, umat terjaga dan mulia.
Wallahu a’lam bisshoowwab.
Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor
Views: 0