Tinta Media – Malam bahagia yang ditunggu warga Palestina seketika berubah mencekam. Serangan jatuh di tengah warga yang baru menghela napas sebentar karena gencatan senjata disepakati pihak Israel dan Hamas. Gencatan senjata telah lama dinantikan warga Palestina, salah satunya Saeed Alloush, yang tinggal di Gaza Utara.
Dilansir dari laman media viva.com (16/1/2025), setelah lebih dari satu tahun penyerangan Israel ke Palestina, akhirnya Hamas dan Israel menyepakati gencatan senjata pada Rabu (15/1). Akan tetapi, berselang beberapa jam gencatan senjata diumumkan, Zionis Yahudi kembali melakukan serangan. Dilaporkan, sekitar 82 orang tewas karena serangan udara dan pesawat tak berawak menghantam gedung serta sekelompok orang di daerah Karaj, kamp Bureji.
Harapan Perdamaian
Pengumuman gencatan senjata di satu sisi menjadi momen yang ditunggu dan membahagiakan bagi warga Palestina. Bisa dibayangkan bagaimana tekanan dan kesengsaraan hidup yang dialami mereka saat serangan Israel terus menerus menggempur mereka. Rumah, sekolah, tempat ibadah, fasilitas kesehatan, seluruhnya hancur lebur. Keluarga tercinta harus ikut menjadi korban kekejian Zionis. Maka, gencatan senjata menjadi waktu bagi mereka untuk rehat, menghela nafas tanpa kekhawatiran.
Meski kebahagiaan ini memang bukan dari akhir perang, namun gencatan senjata menjadi waktu mereka untuk beristirahat dengan tenang. Akan tetapi, nyatanya Zionis tetap bengis. Serangan setelah kesepakatan gencatan senjata, ringan saja mereka lakukan hingga memakan puluhan korban jiwa.
Itulah tabiat asli Zionis Yahudi. Mereka sangat mudah untuk berkhianat dengan alasan-alasan klise. Senada dengan pendapat Hasbi Aswar, pengamat hubungan internasional Universitas Islam Indonesia menyatakan pesimis kalau Zionis Yahudi akan mematuhi kesepakatan. Menurutnya, Zionis Yahudi pada hakikatnya tidak ingin keluar dari Gaza. Mereka ingin benar-benar menguasai Gaza sesuai kepentingannya. Adanya Hamas dan para pejuang di Gaza menjadi penghalang terberat mereka (voaindonesia.com, 16/1/2025).
Harapan perdamaian atas Palestina tinggallah harapan. Sekalipun terjadi gencatan senjata, sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya, hal itu hanya akan menjadi jeda serangan. Perang akan kembali meletus.
Kondisi ini telah berlangsung lama dan terus berlarut-larut. Zionis Yahudi tetap dengan tuduhannya, sementara Palestina tetap dengan perjuangannya yang tidak terpatahkan.
Sementara, dunia tetap pula dengan segala ketakutan dan perhitungannya. Alih-alih para penguasa muslim memboikot hubungan dengan Israel, mereka malah masih tetap berhubungan baik dengan penjagal rakyat Palestina itu. Kerja sama politik maupun ekonomi tetap berjalan. Padahal, Israel dengan pongahnya telah membantai ribuan penduduk Palestina tanpa ampun.
Menyibak Kabut Tebal Palestina
Situasi yang tengah terjadi ini memperlihatkan pada dunia bahwa gencatan senjata bukanlah solusi. Ini terlihat dengan jelas dari rentetan perang yang terus-menerus terjadi di Palestina, dengan gempuran habis-habisan yang memakan ribuan korban jiwa dan kehancuran negara Palestina, Israel bisa dengan mudah menuduh lantas melancarkan serangan membabi buta. Zionis Yahudi bisa dengan mudah beralasan dan tidak ada yang bisa menghukum atas perbuatan kejinya, sekalipun itu adalah pengadilan internasional.
Maka, kaum muslimin harus menyadari ini. Kaum muslimin tidak boleh terpaku pada metode penyelesaian ala kapitalisme, karena tidak akan pernah menguntungkan kaum muslimin. Palestina sebagai bagian dari tubuh kaum muslimin selayaknya mendapatkan dukungan dan pembelaan yang riil dari saudaranya. Namun, nyatanya para penguasa muslim tidak ada yang berdiri di garda depan untuk membela. Mereka sibuk dengan aktivitas duniawi, tanpa malu berjabat tangan dengan Netanyahu atau menjalin hubungan diplomasi dengan para penjajah.
Kesadaran kaum muslimin ini tertutup kabut tebal nasionalisme dan kapitalisme. Para pemimpin yang mempunyai kuasa tidak mampu bergerak mengirim militer karena lebih mementingkan urusan negeri masing-masing. Banyak pertimbangan yang mereka perhitungkan, termasuk dalam urusan bisnis dan kerja sama yang tidak mau mereka lewatkan.
Alhasil, mereka hanya bisa mengecam. Sementara, ketika gencatan senjata diembuskan, mereka serentak mendukung, padahal itu tidak menghentikan aksi genosida rakyat Palestina sama sekali. Palestina butuh kekuatan yang hadir dari persatuan kaum muslimin dunia.
Persatuan Umat Islam, Kunci Kemerdekaan Palestina
Kabut tebal yang menyelimuti Palestina telah menghalangi masa depan generasi. Bahkan, kondisi menyedihkan yang bertahun-tahun terjadi ini memperlihatkan kepada seluruh kaum muslimin dunia, bahwa saat ini kaum muslimin tidak sedang baik-baik saja.
Hanya saat Islam memimpinlah Palestina bisa menikmati kemerdekaan hakiki. Saat kekuasaan belum berada di tangan kaum muslimin, Palestina akan terus diserang, begitu pula kaum muslimin yang menjadi minoritas di negeri-negeri lainnya.
Persatuan kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang Khalifah akan menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Saat Islam diterapkan secara kaffah, maka dakwah dan jihad akan diterapkan pula. Metode inilah yang akan menyelamatkan Palestina dan seluruh kaum muslimin di mana pun berada. Sang amirul mukminin tidak akan ragu menyerukan jihad untuk membela kaumnya yang dijajah.
Dalam sejarah kepemimpinan Islam, tentu telah terlihat kekuatan kaum muslimin yang tidak terkalahkan di sepanjang perjalanan jihad. Bahkan, di masa Khalifah Mu’tashim Billah, beliau rela mengirimkan ribuan pasukan hanya untuk menyelamatkan seorang perempuan yang dilecehkan orang-orang Romawi. Hingga akhirnya, wilayah Romawi ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Islam. Maasyaallah!
Demikianlah kaum muslimin begitu kuat saat bersatu. Tidak ada celah bagi musuh ketika persatuan itu ada di bawah satu kepemimpinan. Kaum muslimin tidak akan menjadi buih di lautan sebagaimana yang terjadi saat ini. Maka, bersatulah kaum muslim untuk kebaikan seluruh muslim di dunia. Wallaahu’alaam.
Oleh: Anisa Rahmi Tania
Sahabat Tinta Media
Views: 0