Tinta Media – Dunia sedang menghadapi permasalahan serius, yakni lonjakan angka pengangguran. Negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina mengalami tingkat pengangguran yang mengkhawatirkan. Di negara Inggris misalnya, pengangguran nasional pada kuartal kedua tahun 2025 menyentuh angka 4,7%. Data Office for National Statistics (ONS) mencatat tingkat pengangguran pemuda usia 16-24 tahun melonjak menjadi 14,1% pada periode April-Juni 2025, setara dengan 634 ribu orang. (CNBCINdonesia.com, 28/08/2025)
Di Indonesia sendiri, tingkat pengangguran diklaim turun. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen pada Februari 2025. Sementara pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka adalah 4,82 persen. Dengan demikian, dikatakan terjadi penurunan sebesar 0,06 persen secara tahunan. Meski demikian, Indonesia disebut ke depannya akan menghadapi ketidakpastian ekonomi yang berimbas pada tenaga kerja. Demikian diungkap Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dengan juga memastikan pemerintah akan menjamin ketersediaan lapangan kerja. (tempo.co, 09/05/2025)
Kegagalan Kapitalisme
Maraknya pengangguran disebabkan oleh gagalnya kapitalisme menyejahterakan kehidupan rakyat. Kapitalisme meniscayakan kekayaan dikuasai segelintir orang saja. Menurut data dari Celios (2024), di Indonesia menunjukkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya, setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Ketimpangan ini jelas membuka peluang ekonomi tidak merata sehingga anak muda pun turut menjadi korban minimnya kesejahteraan.
Rakyat kecil harus berjuang menghidupi diri sendiri untuk bertahan hidup, sementara orang kaya semakin lancar usahanya atas support system yang ada. Hari ini segelintir elite bisa menguasai aset produktif seperti sumber daya alam (SDA), bahkan mendapatkan keringanan pajak. Sebaliknya, rakyat biasa harus berkutat dengan harga kebutuhan pokok yang melambung, sementara pemasukan minim. Selain itu, sulitnya akses lapangan kerja juga menjadi faktor pendukung kesengsaraan rakyat.
Negara dalam sistem kapitalisme tidak lagi memosisikan diri bertanggung jawab penuh atas kehidupan rakyat. Negara justru bertindak sebagai regulator yang memfasilitasi kepentingan para kapitalis. Pekerjaan seolah diserahkan pada mekanisme pasar. Upaya pemerintah dalam mengadakan job fair, membuka sekolah dan jurusan vokasi, atau sertifikasi kerja, justru tidaklah menjadi solusi. Sebab, industri justru melakukan efisiensi dengan melakukan PHK massal atau bahkan mengurangi perekrutan tenaga kerja baru.
Sungguh, selama sistem kapitalisme masih mendominasi dunia, termasuk Indonesia, pengangguran akan terus menjadi masalah dunia. Sebab, secara fakta, kapitalisme adalah sistem yang mengedepankan kepentingan bagi pemilik modal. Perusahaan pun akan merekrut tenaga kerja bila mendatangkan keuntungan dan melakuman efisensi melalui PHK massal jika dibutuhkan. Akibatnya, lapangan kerja jadi terbatas. Demikian yang terjadi pada negara maju. Munculnya fenomena “pura-pura kerja” menjadi bukti bahwa adanya kenaikan angka pengangguran muda.
Akar masalah pengangguran bukanlah sekadar kurangnya skill tenaga kerja atau dibutuhkannya job fair, melainkan kegagalan sistem kapitalisme mendistribusikan kekayaan. Selain itu, kapitalisme juga gagal membuka akses ekonomi yang merata dan menempatkan posisi negara dalam kesejahteraan rakyat.
Syariat Islam Menyejahterakan
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memosisikan negara sebagai pengurus dan bertanggung jawab atas kehidupan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus (raa‘in) urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam menyejahterakan kehidupan rakyat, Islam memiliki mekanisme yang sempurna dan paripurna. Dalam ranah individu, syariat Islam mewajibkan individu terdidik dengan akidah Islam. Oleh karena itu, negara akan menjalankannya melalui pendidikan berbasis Islam. Pendidikan yang tidak sekadar orientasi skill duniawi (tenaga kerja), melainkan memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Pendidikan ini pun termasuk dalam jaminan negara, gratis, dan dengan kualitas terbaik.
Selain itu, distribusi kekayaan diatur dalam Islam. Sistem Islam melarang harta kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya semata.
Allah Swt. berfirman, “…(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS al-Hasyr: 7)
Syariat Islam memiliki mekanisme aturan kepemilikan secara rinci, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Pengelolaan kepemilikan sesuai syariat Islam ini akan mewujudkan keadilan bagi rakyat. Harta akan terdistribusi dengan baik dan akan terwujud pula kesejahteraan.
Selanjutnya, negara dalam sistem Islam juga mewajibkan bagi kaum laki-laki untuk bekerja. Mekanismenya bisa melalui terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya atau pemberian keterampilan dan modal bagi yang membutuhkan, termasuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dorongan ini akan mewujudkan individu yang terampil dan berdaya.
Negara juga akan memastikan iklim usaha berbasis syariat Islam, misalnya melarang riba, penghapusan pajak, dan tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja. Sektor lain seperti industri, pertanian, teknologi, dll. dipastikan berjalan sesuai syariat Islam.
Melalui penerapan Islam kafah (menyeluruh) akan menghilangan ketimpangan dengan wujud nyata kesejahteraan. Lihat saja, saat kapitalisme diterapkan, manusia hidup dalam bayang-bayang ketimpangan, krisis dan kemiskinan. Oleh karena itu, sistem Islam hadir sebagai solusi yang membawa umat pada kesejahteraan. Wallahualam bissawab.
Oleh: Ismawati
Sahabat Tinta Media
Views: 6