Tinta Media – Ironi, mungkin pepatah tikus mati di lumbung padi ini pantas
disematkan di negeri ini. Bagaimana tidak? Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi
kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp
213 triliun – Rp 551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Tak sekedar itu ternyata Food Loss and Waste ini bukan
sekedar masalah di Indonesia namun juga problem yang dihadapi dunia.
Ketika kita analisa sungguh kejadian seperti ini erat kaitannya
dengan pola hidup konsumerisme, dan ini sebagai buah penerapan dari sistem
kapitalisme sekuler. Manusia akan hidup dengan keserakahan dan jauh dari akhlak
Islam.
Di sisi yang lain hal
ini juga menggambarkan adanya miss manajemen negara dalam distribusi harta
sehingga mengakibatkan kemiskinan dan
problem lain seperti kasus beras busuk di gudang bulog, pembuangan
sembako untuk stabilisasi harga, bahkan sering terjadi petani marah dengan
membuang hasil tanamannya ke sungai, membabat habis tanaman pertanian dan
membuangnya sebab tidak ada harga yang layak. Saat bertanam bibit dan pupuk
mahal namun saat panen tiba harga hancur terjun payung.
Namun disisi yang lain terdapat kemiskinan yang mencekik.
Bahkan penguasa baru akan melakukan tindakan jika kasus kemiskinan tersebut
sudah di viralkan. Seperti halnya kasus nenek Nursi yang 3 hari hanya makan
daun singkong rebus karena tidak ada beras di rumahnya. Miris!
Lagi – lagi kesenjangan yang sangat tinggi bagai langit dan
bumi ini terjadi sebab sistem kapitalisme sekuler yang menjadi landasan. Sebab
dalam sistem ini tidak ada penguasa mengurusi urusan rakyat individu per
individu. Namun untuk mengukur kemiskinan dan kekayaan sekedar menghitung
berapa kepala yang ada di negara kemudian di gandeng dengan adanya harta
keseluruhan dibagi dengan jumlah kepala. Sehingga menghasilkan hitungan yang
disamaratakan penghasilan penduduk negeri ini. Sedang kenyataannya tidak
demikian.
Kita lihat bagaimana para penguasa makan? Dua tiga orang
namun makanan yang tersaji bisa penuh satu meja besar. Seluruhnya diincip
sehingga sisanya akan terbuang begitu saja. Padahal sepiring nasi saja bisa
jadi sangat berharga bagi salah satu keluarga di negeri ini. Sungguh manajemen
distribusi yang buruk.
Berbeda halnya dalam Islam yang punya aturan terbaik dalam
mengatur segala hal tentang kehidupan manusia termasuk aturan masalah konsumsi
dan juga distribusi sehingga terhindar dari kemubaziran dan berlebih-lebihan.
Dengan pengaturan yang cermat, maka akan terwujud distribusi
yang merata dan bisa mengentaskan kemiskinan. Dari sini food waste dapat
dihindarkan.
Ditunjang dengan sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak
individu- individu bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur
konsumsi makanan. Bagaimana bijaknya suri teladan kita baginda Nabi Muhammad
SAW. Beliau pemimpin umat namun tidak berlebih saat makan sebiji sampai tiga
biji kurma telah cukup. Demikian juga bagaimana Khulafaur Rasyidin saat
mendapati rakyatnya yang miskin bahkan rela memanggul gandum sendiri dari
baitul mal hingga ke rumah janda miskin.
Pemimpin-pemimpin seperti mereka yang kita inginkan, yang
kita rindukan akan menjadi kenyataan saat kekhalifahan itu telah kembali
memimpin dunia. Sehingga tidak akan ada lagi kesenjangan orang kaya
membuang-buang sisa makanan sedang si miskin tidak bisa makan. Baldatun
toyyibatun warobbun ghofur akan tercapai.
Oleh: Lilik Solekah, SHI., Ibu Peduli Generasi
Views: 0