Fantasi Sedarah dan Bangkai Moralitas dalam Sistem Sekuler

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi informasi, publik dikejutkan oleh keberadaan komunitas atau grup-grup di dunia maya yang menamakan diri sebagai komunitas “Fantasi Sedarah.” Grup tersebut secara terang-terangan membincangkan “kedekatan” dalam keluarga dengan cara yang tentu saja jauh dari nilai kekeluargaan yang sehat, berbagai cerita tak masuk akal dan sangat meresahkan. (detik.com, 22/05/2025).

Tak ayal, sebagian publik mungkin mengernyitkan dahi, bertanya-tanya, sejak kapan relasi darah menjadi objek rekreasi syahwat? Keluarga yang semestinya menjadi ruang pertama dan utama dalam menanamkan nilai, justru menjadi korban dari runtuhnya struktur sosial. Hubungan suci antara suami dan istri, peran keayahan dan keibuan, serta kedekatan antara saudara kandung, perlahan berubah menjadi sekadar hubungan biologis tanpa makna ideologis.

Makin hari, makna keluarga sebagai institusi pembentuk peradaban makin memudar, tergeser oleh selera individual yang dibentuk oleh tontonan, konten viral, dan budaya permisif yang diagung-agungkan sebagai bentuk “kemajuan.” Tidak mengherankan bila pada akhirnya relasi sosial yang seharusnya dibangun atas dasar kasih sayang dan tanggung jawab tersebut malah terjerembab ke dalam lumpur egoisme dan hasrat.

Dunia digital pun menjadi saksi, betapa fitrah manusia dicemari oleh ekspresi yang bahkan tak sanggup dinalar oleh akal sehat, apalagi dibenarkan oleh nilai agama. Realitas semacam ini bukanlah sekadar kelalaian individu semata, melainkan gejala sosial yang mencerminkan rusaknya pondasi masyarakat.

Negara Ada, Tetapi Tak Benar-Benar Hadir

Dalam situasi ini, keberadaan negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat nyaris tak terasa. Alih-alih tampil sebagai garda terdepan dalam membendung gelombang penyimpangan sosial, negara justru terkesan nyaman duduk di bangku penonton, seolah cukup puas dengan menertibkan kasus demi kasus yang viral, sembari menghindari diskursus mendasar, sehingga membuat hal-hal semacam ini bisa berulang dan kian massif.

Tentu kita tak berharap bahwa negara turun tangan mengawasi layar ponsel setiap warga. Namun, negara mempunyai tanggung jawab struktural untuk mengatur arah pendidikan, mengontrol arus budaya, dan membentengi masyarakat dari paparan nilai-nilai dekaden. Sayangnya, dalam sistem yang lebih sibuk melayani investor daripada menjaga moral publik, harapan semacam itu tampaknya terlalu utopis.

Negara telah memutus urusan publik dari agama. Hal itu menjadikan negara buta terhadap realitas kerusakan yang lahir dari kebebasan yang didewakan.

Saatnya Kembali pada Aturan Sang Ilahi

Berbeda dengan anggapan sebagian pihak bahwa agama cukup disimpan rapi di ruang ibadah atau dalam hati yang tulus, Islam justru datang membawa solusi hidup yang menyeluruh, termasuk bagaimana membangun keluarga, mendidik masyarakat, hingga mengatur negara. Dalam sejarahnya, sistem Islam (Khilafah) pernah membuktikan diri sebagai entitas yang tidak hanya memproduksi ketenteraman, tetapi juga menjaga kemurnian relasi sosial dari penyimpangan yang destruktif.

Khilafah bukan negara utopis yang hanya hadir dalam mimpi aktivis. Khilafah dalam daulah Islamiyah memiliki struktur nyata yang pernah hidup selama berabad-abad, meniscayakan masyarakat yang taat, bukan karena takut pada polisi, tetapi karena terdidik dalam sistem yang menanamkan akidah Islam secara kokoh. Negara dalam sistem ini tidak menjadikan agama sebagai “barang privat”, tetapi sebagai sumber nilai, hukum, dan arah pembangunan.

Melalui sistem ini, keluarga bukan hanya sekadar urusan pribadi, melainkan unit sosial yang dijaga, didukung, dan diperkuat oleh negara. Media dikontrol agar tidak menjadi agen kerusakan. Pendidikan diarahkan untuk membentuk insan yang berkepribadian Islam. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bukan hanya menindak yang viral, tetapi untuk mencegah kehancuran sejak dari akarnya.

Khatimah

Memperjuangkan sistem yang sehat bukanlah sikap antinegara, melainkan bentuk cinta yang rasional. Kita tidak sedang menginginkan negara sempurna, tetapi negara yang mau belajar dari sejarah dan berpihak pada kemuliaan hidup.

Masyarakat yang paham seharusnya segera mengambil langkah untuk mengembalikan peran negara sebagaimana mestinya. Kita tidak bisa berharap pada sistem yang terus-menerus membiarkan moral tumbang demi laba, atau membiarkan syahwat merajalela atas nama kebebasan.

Sudah saatnya kita berhenti bersikap seperti penonton di tengah reruntuhan keluarga dan peradaban. Karena, jika kita tidak segera mengambil peran, maka anak-cucu kita kelak akan mewarisi dunia yang lebih buruk dari hari ini, dan mendapati puing-puing dari peradaban yang sombong karena menolak aturan Tuhan.

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit .…” (QS Thaha: 124)

 

Oleh: Novi Ummu Mafa,
Sahabat Tinta Media

Views: 11

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA