Tinta Media – “Pagiku cerahku, matahari bersinar.. Kugendong tas merahku, di pundak”,
Demikian potongan lagi berjudul Guru Tersayang yang menggambarkan kegembiraan siswa saat berangkat sekolah, bertemu teman-teman, dan siap menerima ilmu dari gurunya. Namun, suasana gembira dan semangat yang harusnya dirasakan oleh setiap siswa saat berada di sekolah agaknya hari ini sulit diwujudkan. Sekolah seolah berubah menjadi tempat mengerikan yang menelan banyak korban. Bagaimana tidak? Sepanjang tahun 2024 Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada kenaikan kasus kekerasan di sekolah, madrasah, dan pesantren hingga menyentuh angka 573 kasus (berdasarkan berita di detik.com pada tanggal 27 Desember 2024). Angka tersebut naik lebih dari 100 persen dibanding tahun sebelumnya. Parahnya, masih dari sumber yang sama dikabarkan bahwa angka kekerasan yang terdata bukan hanya terjadi di sekolah, tapi juga terjadi di pendidikan berbasis agama seperti madrasah sebesar 16 persen dan pesantren sebesar 20 persen.
Seusai dengan amanat undang-undang, pendidikan nasional harusnya berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, tujuan tersebut seolah sulit digapai. Generasi di negeri ini, makin hari makin menunjukkan penurunan dari sisi pengendalian diri hingga mudah sekali tersulut bahkan tak ragu-ragu melukai atau menyakiti orang lain saat keinginan atau harapannya tak terpenuhi.
Apakah tak ada langkah perbaikan? Tentu sudah. Berulang kali kurikulum negeri ini diganti. Tercapat sudah terjadi 11 kali perubahan kurikulum sejak Indonesia merdeka demi mencapai perbaikan dari kurikulum yang satu ke yang lain. Terakhir, penerapan kurikulum merdeka yang justru menuai gelombang protes dan tak menunjukkan hasil ke arah baik bahkan memperburuk kualitas generasi.
Sudah saatnya negeri ini melakukan muhasabah secara mendasar bukan sekedar kurikulumnya, namun konsep dan asas pendidikan yang sedang dijalankan. Fenomena kekerasan di dunia pendidikan ini, sebenarnya sudah cukup menjadi alasan kuat bagi negeri ini untuk mengevaluasi asas pendidikannya.
Pendidikan di Indonesia yang didasarkan kepada pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) meniscayakan terbentuknya generasi yang hanya memperturutkan keinginan dan hawa nafsunya tanpa menghiraukan batasan-batasan syariah. Agama hanya dijadikan sebagai hiasan bagai sebuah adagium bagai makan manggis, yang dipilih bijinya. Program-program keislaman hanya diterapkan sebatas kemampuan baca-tulis Al Qur’an, kebolehan berkerudung, atau peringatan hari besar Islam. Sedang dalam pembelajaran sehari-hari, Islam tak sama sekali mendapatkan porsi dan perhatian.
Kondisi tersebut tak jauh beda dengan apa yang ada di madrasah atau pesantren. Meski Islam yang menjadi nafas pendidikan di madrasah dan pesantren, pelajaran-pelajaran agama hanya diposisikan sebagai salah satu mata pelajaran/program sebagaimana yang lain tanpa memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi, pengarusan moderasi beragama yang justru semakin melunturkan indentitas Islam generasi. Menjadikan mereka semakin toleran pada berbagai al meski tak sesuai Islam. Akhirnya, generasi yang lahir hari ini menjadi generasi yang seolah islami secara tampilan namun sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) dan abai terhadap nilai-nilai dan aturan Islam.
Islam yang diturunkan Allah bukan sekedar sebagai agama ritual, sejatinya memiliki solusi mendasar terkait problem pendidikan ini. Dalam Islam, pendidikan merupakan faktor penting pembentuk generasi hingga harus diperhatikan secara serius oleh seluruh pihak baik individu, keluarga, sekolah hingga negara. Negara di dalam Islam bertanggung jawab secara penuh dalam mewujudkan pendidikan berbasis akidah Islam hingga terbentuk generasi yang berkepribadian Islam. Seluruh kurikulum dirancang berbasis akidah Islam sehingga meniscayakan para peserta didik menjadikan Islam sebagai landasan seluruh tindakannya di seluruh aspek kehidupan.
Sekolah yang terdiri dari para pengajar, hingga seluruh civitas akademika bertanggung jawab menjalankan kurikulum dengan baik. Mereka akan digaji secara layak dan bekerja penuh integritas karena mereka menyadari betul bahwa pertanggungjawaban para guru bukan hanya pada atasan tetapi kepada Allah SWT. Lingkungan masyarakat hingga juga diciptakan sedemikian rupa hingga memperkuat nilai-nilai Islam yang sudah ditanamkan di sekolah. Tak seperti hari ini, generasi yang sudah berupaya dididik di sekolah, justru mendapatkan paparan kerusakan dari lingkungan tempat mereka hidup.
Akhirnya, harus dibangun kemauan pada seluruh entitas negeri ini untuk mengambil Islam secara keseluruhan. Untuk menjadikan Islam sebagai asas pendidikan, mutlak dibutuhkan komitmen untuk menjadikan Islam sebagai asas dari sistem cabang kehidupan yang lainnya termasuk politik dan pemerintahan. Agar generasi ke depan menjadi genesi gemilang karena lahir dari sistem Islam yang memuliakan manusia.
Wallahu a’lam.
Oleh: Nurul Mauludiyah
Praktisi Pendidikan dan Aktivis Muslimah
Views: 0