Kecerdasan Politik secara Ideologis

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Dunia hari ini tidak sunyi dari gejolak. Setiap inci bumi seakan menjadi papan catur kepentingan negara-negara besar. Di antara titik panasnya adalah kawasan Timur Tengah, dengan isu Palestina sebagai jantung luka umat Islam yang tak kunjung sembuh.

Namun, membaca peristiwa ini tidak cukup hanya dengan simpati. Umat Islam dituntut memiliki pandangan strategis—pandangan yang jernih dan tajam, berpijak pada syariat, bukan sekadar informasi media arus utama.

Isu Palestina sering digambarkan sebagai konflik dua bangsa atau sengketa tanah semata. Namun, dari sudut pandang Islam, ini adalah penindasan atas tanah suci kaum muslim—tanah Isra’ Mi’raj Nabi saw.—yang telah dijajah oleh entitas Zionis Israel sejak 1948 dengan restu dan dukungan kuat dari Barat, terutama Amerika Serikat.

Penjajahan ini bukan sekadar persoalan politik lokal, tetapi bagian dari proyek global untuk menyingkirkan pengaruh Islam dan mencegah kebangkitan kembali kekuasaan Islam yang menyatukan umat dalam satu tubuh. Oleh sebab itu, membela Al-Quds bukan hanya tindakan solidaritas, tetapi kewajiban syar’i.
Rasulullah saw. bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Drama Politik Dunia

Di tengah penderitaan rakyat Gaza, muncul ketegangan baru antara Iran dan Israel. Serangan saling balas, ancaman terbuka, hingga uji kekuatan militer, seakan menunjukkan keberanian Iran sebagai satu-satunya negara yang menantang Israel. Namun umat Islam perlu lebih cermat dalam membaca ini. Apakah benar Iran menjadi ancaman bagi Israel? Ataukah ini hanya bagian dari permainan geopolitik yang mengalihkan perhatian dari solusi sejati?

Fakta menunjukkan bahwa meskipun Iran vokal, wilayahnya tidak benar-benar menjadi ancaman strategis langsung terhadap eksistensi Israel. Bahkan, konflik ini kerap justru memberi dalih bagi Israel untuk meningkatkan aliansi militernya dengan Amerika dan memperluas legitimasi atas kejahatannya di Palestina.

Amerika Serikat tetap menjadi aktor utama dalam melanggengkan dominasi Israel. Dukungan dana, senjata, veto di Dewan Keamanan PBB, hingga narasi media global semuanya diarahkan untuk memperkuat posisi entitas Zionis dan membungkam suara perlawanan. Ironisnya, banyak rezim di negeri-negeri muslim justru memilih bungkam, atau bahkan ikut mengakui Israel dalam hubungan diplomatik.

Dalam menghadapi realitas ini, umat Islam tidak boleh netral. Netralitas dalam urusan penindasan adalah pengkhianatan terhadap akidah. Islam telah memberikan kerangka berpikir dan bertindak terhadap umatnya. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan kaum Muslimin untuk bersatu, memerangi penjajahan, dan menegakkan keadilan di muka bumi.
“Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah…?” (QS. An-Nisa: 75)

Namun, perlawanan umat Islam selama ini masih bersifat sporadis dan emosional. Tanpa ada satu komando global, kekuatan umat akan terus tercerai berai. Syariat Islam menetapkan bahwa hanya institusi Kekhilafahan yang memiliki legitimasi dan kemampuan untuk menggerakkan kekuatan militer umat secara sah dan terorganisir, demi membebaskan wilayah-wilayah yang dijajah, termasuk Palestina.

Pentingnya Kecerdasan Politik

Membaca konstelasi politik dunia adalah fardhu kifayah bagi umat. Umat Islam harus memiliki kesadaran politik global berbasis syariat agar tidak terus tertipu oleh propaganda, sandiwara diplomasi, dan perang kepentingan yang menyesatkan.
Kesadaran ini bukan untuk sekadar pintar bicara, tapi untuk melahirkan langkah strategis: mendidik umat dengan pemahaman yang benar, membongkar narasi palsu musuh-musuh Islam, dan mendorong tegaknya institusi pemersatu umat—yang mampu menjadi aktor global dalam konstelasi dunia, bukan sekadar korban dari arus sejarah.

Umat Islam harus kembali menjadikan syariat sebagai titik tolak dalam memandang dunia. Bukan dengan lensa nasionalisme sempit, bukan dengan diplomasi pragmatis, apalagi dengan retorika kosong tanpa visi peradaban. Dunia saat ini tengah mengalami pergeseran kekuatan. Ketika Barat mengalami krisis moral dan sosial, inilah momen bagi Islam untuk kembali tampil sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Bukan dengan kekuatan marah, tetapi kekuatan visi. Bukan dengan reaksi emosional, tetapi perencanaan strategis dan kecerdasan secara politik. Dan itu semua hanya mungkin terwujud bila umat ini kembali kepada Islam secara total, dengan menjadikan politik sebagai ibadah, dan dunia sebagai ladang amal untuk meraih rida-Nya.
“Barang siapa tidak peduli urusan kaum muslim, maka ia bukan bagian dari mereka.”(HR. Thabrani)

Wallahu’alam bish Shawwab.

Oleh: Maman El Hakiem
Sahabat Tinta Media

Views: 26

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA