Tinta Media – Persoalan sampah terus terjadi. Kita dihadapkan pada kesulitan menyelesaikan tumpukan sampah. Hal inilah yang menyebabkan Gubernur Bali, Wayan Koster, menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, terutama pada larangan perusahaan memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter. Larangan penggunaan kantong plastik juga pernah dilakukan beberapa tahun lalu hingga hari ini. Namun, kebijakan itu hanya bisa dilakukan oleh ritel besar, bukan seluruh masyarakat. Tentu hal tersebut tidak menyelesaikan masalah sampah.
Jika kita telaah, memerangi sampah plastik melalui kebijakan zero plastik di negeri ini tidak akan berhasil, dikarenakan sistem kapitalisme yang diterapkan tidak akan memperhatikan kerusakan lingkungan dan memedulikan keselamatan manusia.
Hal utama yang menjadikan perhatian para penguasa dan pejabat di dalam sistem ini adalah mendapatkan keuntungan dan terpenuhinya kepentingan saat berkuasa. Lemahnya inovasi untuk menyelesaikan masalah sampah plastik terbukti dari adanya kerja sama yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah dengan asing di dalam pengelolaan sampah. Jika memang kantong plastik maupun AMDK dianggap berbahaya, mengapa regulasi yang memberi izin produksi dan distribusi masih diberikan?
Negara seharusnya bisa melakukan pemotongan dari hulu melalui regulasi untuk menyelesaikan masalah secara lebih cepat. Namun, hal itu tidak dilakukan dan meniscayakan adanya keberpihakan negara terhadap korporasi. Negara tampak berlepas tangan terkait persoalan sampah ini dan cenderung menyerahkan kepada masyarakat dan pihak swasta.
Hal itu berbeda dengan Islam. Islam mengharuskan negara menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat, termasuk mengelola sampah plastik yang berbahaya. Negara akan mengembangkan riset terpadu untuk menemukan teknologi mutakhir, baik dalam menyediakan kemasan alternatif yang ramah lingkungan maupun di dalam teknologi pengolahan sampah yang mumpuni.
Negara di dalam Islam akan memberikan bantuan khusus untuk inovasi penyediaan alternatif plastik yang didanai oleh negara. Negara akan melarang pabrik produsen plastik yang berbahaya dan merugikan masyarakat. Negara akan memperhatikan pendirian pabrik untuk mendaur ulang limbah yang diizinkan.
Limbah-limbah yang tidak dapat didaur ulang akan diproses dahulu sebelum dibuang. Sehingga, ketika dibuang, limbah itu tidak akan membahayakan manusia, hewan, maupun alam. Bahkan negara membentuk tim ilmuwan untuk mempelajari dan mengembangkan cara-cara baru guna membersihkan limbah yang tidak dapat didaur ulang, seperti plastik, guna menghilangkan risiko dan bahaya bagi rakyat.
Selain itu, berbagai komunitas di tengah masyarakat juga memberikan perannya di dalam berbagai bentuk, mulai dari bantuan sosialisasi kebijakan, mengevaluasi alur pengelolaan dan pengolahan limbah, serta mengajak individu dengan program pengurangan volume sampah.
Masyarakat dapat pula melakukan riset dengan bantuan negara untuk menemukan teknologi tepat guna yang memiliki potensi di dalam pengelolaan dan pengolahan limbah plastik secara efektif dan efisien.
Keterlibatan level individu adalah dengan menanamkan ketakwaan individu sehingga mendorong seseorang untuk memahami perintah Allah terkait hal yang tidak membahayakan lingkungan. Walhasil, pemahaman tersebut mencegah dirinya untuk melimbahkan plastik sembarangan serta tidak bersikap boros dalam penggunaan bahan plastik.
Bagi seorang muslim, hal tersebut jelas berpahala. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda,
“Saat seseorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).
Prinsip dasar Islam terkait lingkungan adalah dengan mewajibkan manusia menjaga lingkungan dan tidak merusaknya. Dengan demikian, limbah yang dapat membahayakan masyarakat dan merusak lingkungan di dalam jangka pendek, menengah, dan panjang harus dikelola dengan benar sehingga potensi bahaya tersebut dapat dihindari. Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ahmad dan Ibu Majah)
Demikianlah, betapa Islam dapat menyelesaikan masalah limbah plastik secara tuntas. Individu, masyarakat, maupun negara memiliki peran masing-masing yang saling mendukung. Seluruh peran ini hanya akan berjalan sukses di dalam sistem kenegaraan yang ideal untuk penerapannya, yakni Khilafah Islamiyah. Hal ini mengingat bahwa hanya dengan Khilafah, sistem yang lahir dari akidah Islam dan menerapkan aturan yang dipancarkan dari akidah Islam yang merupakan syarat agar seluruh mekanisme penyelesaian tuntas limbah sampah dapat diterapkan.
Oleh: Mirza Fithry
Sahabat Tinta Media
Views: 13