Tajikistan Larang “Hijab”: Wabah Sekularisme di Negeri Muslim

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Beberapa hari yang lalu dunia dihebohkan dengan pengesahan
pernikahan sesama jenis di Thailand. Pengesahan ini didasarkan kepada hak asasi
manusia yang setiap orang berhak menentukan kehidupan privatnya dan menentukan
kecondongan yang ia inginkan. Selanjutnya kita disajikan dengan kabar
Tajikistan yang merupakan salah satu negara mayoritas Muslim di Asia melarang
penggunaan hijab untuk perempuan. Larangan ini dituangkan dalam Undang-undang
baru yang menggantikan UU lama soal Aturan Tradisi dan Perayaan. (CNNIndonesia,
26/6/2024)

Presiden Tajikistan Emomali Rahmon menyatakan alasan pelarangan
tersebut adalah untuk melindungi “budaya Tajik” dan mengurangi pengaruh agama
di kalangan masyarakat. Selama menjabat sebagai Presiden, Rahmon terlihat
berambisi sekali untuk menerapkan sekularisme di Tajikistan dengan alasan
mengurangi ekstremisme. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kebijakan yang
diambilnya, misalnya mencukur jenggot dengan paksa, membatasi usia orang yang
masuk mesjid, melarang penggunaan hijab dan menutup mesjid besar-besaran.
(CNNIndonesia, 26/6/2024)

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa anggapan “ekstremisme”
atau propaganda “terorisme” yang diidentikkan dengan “Islam” merasuk ke dalam
sendi-sendi kehidupan di Tajikistan terutama dari sisi pemerintahnya. Sehingga
hal-hal yang berkaitan dengan “Islam” harus dihapuskan. Fobia Islam yang luar
biasa bahkan yang membuat kita heran ini dilakukan oleh negara yang mayoritas
muslim. Wabah fobia ini ternyata berhasil masuk ke dalam negeri-negeri muslim
di dunia. Propaganda Barat pun berhasil.

Propaganda yang telah dirancang oleh Barat ke seluruh dunia
tidak terkecuali untuk negeri-negeri muslim memperlihatkan bahwa barat sangat
takut dengan Islam. Takut akan kebangkitan Islam. Ketakutan ini yang membuat
mereka lupa bahwa mereka juga telah mempropagandakan kebebasan dan hak asasi
manusia yang akhirnya menjadi bumerang karena faktanya mereka yang membuat
aturan tersebut justru mereka yang melanggarnya. Dengan alasan mempertahankan
tradisi Tajikistan pun telah melanggar Hak Asasi Manusia yang telah diatur oleh
hukum Internasional. Mengapa atas nama HAM pelegalan perbuatan keji yakni
pernikahan sesama jenis dapat dilegalkan? Sedangkan hak untuk berpakaian sesuai
tuntutan beragama malah dilarang?

Inilah ambiguitas penerapan HAM yang tidak berlaku jika
berhubungan dengan umat Islam atau dengan identitas Islam. Beragama adalah hak
alamiah (natural right) yang dimiliki manusia dan merupakan hak dasar dari hak
asasi manusia. setiap orang berhak untuk menentukan agamanya masing-masing dan
tidak ada larangan untuk memeluk agama tersebut. hal ini jelas tertuang dalam
Pasal 18 Piagam Deklarasi Undang-undang Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama,
dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan  dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain di muka umum maupun
sendiri.” Begitu pun dalam ICCPR (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik) Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan
berpikir, keyakinan dan beragama.” 

Namun, kembali lagi semua aturan tersebut akan pincang jika
untuk umat Islam karena aturan tersebut lahir dari sistem kapitalisme-sekularisme
yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga aturan dalam kehidupan ditetapkan
oleh manusia. Selain itu, kapitalisme berstandarkan manfaat/kepentingan. Jika
ada manfaat/kepentingan maka aturan bisa dibuat atau dihapus dengan begitu
saja. ini lah yang terjadi di seluruh negeri-negeri Islam saat ini.

Hal ini berbeda jauh dengan sistem Islam yang berasal dari
Sang Khaliq yakni Allah Swt. yang satu-satunya berhak untuk membuat aturan.
Islam mengatur bagaimana menjaga hak-hak syar’i setiap manusia. Bukan hanya
muslim tapi setiap individu yang berada dalam naungan sistem Islam yang
dijalankan dalam sebuah institusi Daulah Khilafah Islamiyah yang dipimpin
seorang Khalifah. Manusia tidak boleh dipaksa untuk meyakini dan memeluk agama
(Islam). Namun bukan berarti muslim dibiarkan gonta-ganti agama. Islam tidak
memaksa memeluk agama (Islam) namun ketika telah memilih Islam dilarang untuk
murtad atau keluar dari Islam. Jika hal ini terjadi maka dia akan dinasihati
dan jika dia menolak maka akan dikenakan sanksi oleh negara. Hal ini dilakukan
dalam rangka penjagaan akidah sehingga tidak mudah mempermainkan akidah. Disisi
lain, penganut agama lain dijamin untuk dapat menjalankan agamanya.

Secara histori pun telah terbukti bagaimana Islam di Spanyol
lebih dari tiga abad tiga agama (Islam. Kristen dan Yahudi) dapat hidup rukun
dan sejahtera. Di bawah kekuasaan Islam orang Yahudi dan Nasrani beribadah
dengan bebas tanpa rasa takut akan penganiayaan. Sungguh Islam merupakan sistem
yang sempurna dan paripurna. Satu-satunya sistem yang sesuai dengan fitrah
manusia. Islam rahmatan lil alamin, betul sekali rahmatnya tidak hanya untuk
kaum muslim tapi untuk seluruh alam termasuk non-muslim. Sistem yang akan menyejahterakan
manusia di semua lini kehidupan. Sudah saatnya kaum muslim khususnya
negeri-negeri muslim saat ini sadar bahwa hanya dengan kembali pada Islam dan
menerapkan syariat secara kaffah dalam sebuah institusi di bawah satu komando
yakni Khalifah yang akan melindungi dan menjaga umat agar dapat menjalankan
semua kewajiban dari Sang Khaliq.

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media 

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA