Polemik Pagar Laut, Cermin Negara tak Berdaya

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – “Bumi ini cukup untuk dihuni semua orang, tapi tak bisa memuaskan satu orang yang serakah.”

Gambaran bagi orang serakah tengah dipertontonkan di hadapan masyarakat Indonesia. Tidak cukup menguasai tambang, gunung, dan hutan, kini laut pun dikuasai. Seakan harta kekayaan yang dipunyai belum cukup dan harus terus ditambah.

Dilansir dari laman BBC News.com (18/1/2025), deretan pagar bambu terlihat di perairan kabupaten Tangerang. Menurut kesaksian warga pagar bambu tersebut setidaknya telah ada sejak Juli 2024. Menindaklanjuti hal itu, pada September 2024 Front Kebangkitan Petani dan Nelayan melaporkan temuannya ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten. Keberadaan pagar itu menyulitkan para nelayan saat melaut. Pengaduan dilanjutkan kelompok nelayan ke Ombudsman Jakarta, karena DKP menyebut mereka tidak berwenang mencabut pagar meskipun keberadaannya ilegal. Setelah pengaduan tersebut, kasus ini pun viral di media sosial. Sementara panjang pagar laut yang semula 700 meter, saat viral telah mencapai 30 kilometer.

Kondisi tersebut semakin mempersulit nelayan. Penghasilan nelayan yang sudah pas-pasan semakin anjlok karena harus memutar jauh melewati pagar-pagar tersebut. Mereka harus mengeluarkan biaya solar 3-5 liter lebih banyak. Jika pulang melaut di malam hari, kerap para nelayan pun menabrak pagar bambu karena tidak terlihat.

Setelah pemberitaan ini santer diperbincangkan, Agung sedayu akhirnya mengakui bahwa anak perusahaannya memiliki sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Perusahaan tersebut di antaranya PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa (cnnindonesia.com, 23/1/2025).

Pembongkaran pagar laut pun dilakukan oleh personel TNI. Berdasar pada keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, pejabat Kantor Pertanahan Tangerang sebanyak delapan orang. Mereka dicopot dari jabatannya, enam di antaranya diberi sanksi pemberhentian. Denda yang akan dikenakan sebesar Rp18 juta per kilometer. Akan tetapi, sanksi ini seharusnya ditambah dengan sanksi pidana.

Sebagaimana yang dikemukakan Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), keputusan KKP dan Kementerian ATR/BPN yang menjatuhkan sanksi dan denda malah memperlihatkan ketidakseriusan dalam menindak pelaku perusakan laut. Kementerian menurutnya hanya mengincar para pejabat level bawah. Sementara perkara ini dipastikan melibatkan banyak aktor di level atas (tirto.id, 31/1/2025).

Seharusnya pemerintah pun memikirkan nasib nelayan. Selama kasus ini bergulir selama itu pula para nelayan semakin tercekik. Lantas kapan negara akan hadir dan mengurusi urusan rakyat?

Mengurai Akar Masalah Pagar Laut

Drama jual beli laut kental dengan aroma kepentingan-kepentingan korporasi. Para pemilik modal bisa dengan mudahnya membeli berbagai hal, sekali pun hutan, gunung, pulau bahkan laut. Tentu masyarakat pun sudah lumrah jika banyak para pengusaha yang menguasai barang tambang, hutan, bahkan pulau.

Pada hakikatnya hal tersebut tidak mengherankan, karena bangsa ini tengah terjerat dalam sistem kapitalisme. Sistem ini dengan jelas tidak mengakui kepemilikan umum. Segala hal bisa dibeli dan dimiliki, selama seseorang mempunyai modal.

Jika saat ini banyak yang menganggap laut yang dipagari sebagai peristiwa yang tidak masuk akal, pada dasarnya dalam sistem Kapitalisme hal ini sah-sah saja. Maka, tidak aneh pula saat Agung Sedayu mengakui sebagian pagar laut tersebut telah memiliki HGB (hak guna bangunan). Negara sendiri seakan tidak berdaya menghadapi perusahaan-perusahaan yang semakin serakah menguasai alam. Alih-alih langsung mencabut pagar bambu saat pelaporan pertama dilayangkan para nelayan, negara malah saling menuduh dan terlihat sungkan untuk langsung menjerat pelaku dengan hukuman yang tegas.

Lemahnya peran negara pun akibat sistem kapitalisme dalam demokrasi yang hanya menjadikan negara sebagai regulator. Negara tidak dijadikan sebagai pengurus urusan rakyat, karena dengan begitu para pemilik modal bisa dengan leluasa merampas berbagai hak milik masyarakat. Demikian merusaknya sistem ini sehingga menyengsarakan masyarakat, khusunya para petani nelayan di Tanggerang.

Islam Sistem Sempurna

Dalam syariat Islam, kepemilikan harta terbagi dalam 3 aspek. Pertama, kepemilikan individu yakni kebolehan bagi setiap individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan ini ditetapkan dan didasarkan pada ketentuan hukum Syara (Allah SWT). Setiap barang boleh dimiliki individu bukan berdasar sisi manfaatnya bagi individu tersebut, tetapi berdasar pada halal dan haram yang ditetapkan Syara. Misalnya, kepemilikan kendaraan, rumah, atau perhiasan, Syara memperbolehkan dimiliki melalui akad yang baik. Tidak diperkenankan melalui akad yang batil. Sementara kepemilikan hutan, bukit, gunung, pantai, dan lain-lain tidak diperbolehkan diperjualbelikan dan dimiliki individu. Hal ini karena aset tersebut bukan termasuk kepemilikan umum.

Terkait dengan hal tersebut yakni aspek yang kedua, kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah harta dimana setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmatinya. Maka, harta ini tidak boleh dimiliki maupun dikuasai oleh individu atau sekelompok individu. Nabi saw. bersabda:

النَّاسُ شُركَاَءٌ في ثَلاَثٍ : فِي اْلماَءِ وَ الْكَلاَءِ وَ النَّارِ

Manusia bersekutu dalam kepemilikan atas tiga hal: air, padang gembalaan dan api (HR Imam Ahmad).

Hadits tersebut menegaskan keharaman atas kepemilikan gas, tambang, sumber mata air, termasuk laut di tangan individu ataupun perusahaan, sebagaimana yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudharatan tercipta. Sementara rakyat kecil yang harus menanggung derita akibat penerapan sistem yang rusak dan merusak.

Adapun kepemilikan yang ketiga adalah kepemilikan negara. Kepemilikan negara berarti setiap harta yang hak pemanfaatannya berada dalam kekuasaan negara. Contohnya harta ghanimah (rampasan perang), fa’i, khumus, kharaj, jizyah, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, tanah hak milik negara, dan lain-lain.

Meskipun berada di tangan negara, harta negara dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Hal tersebut mencakup gaji pegawai, logistik jihad, pembangunan infrastruktur, fasilitas publik, dan sebagainya.

Pemenuhan kebutuhan tersebut sama halnya dengan pemanfaatan dari kepemilikan umum. Negara yang berwenang mengelola tetapi harus disalurkan hasil pengelolaannya untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian negara mempunyai banyak pos pemasukan untuk memenuhi semua hak rakyat.

Laut yang menjadi sumber mata pencaharian para nelayan seharusnya tidak dikuasai pengusaha atau perusahaan tertentu. Celah tersebut muncul saat sistem kapitalisme mencengkram. Sebagai manusia yang secara alamiahnya mempunyai keinginan yang tidak terbatas akhirnya terfasilitasi untuk menguasai segala hal tanpa batas.

Oleh karena itu, hanya Islam yang bisa menghentikan keserakahan para korporasi. Sistem Islam mampu mengatur manusia menjadi individu yang baik dan taat. Arah pandang kehidupannya tidak selalu terkait dengan materi tetapi terkait dengan kehidupan abadi di akhirat kelak.

Wallahu’alam

 

 

 

Oleh: Anisa Rahmi Tania
Sahabat Tinta Media

Views: 1

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA