Tinta Media – Perbincangan di media sosial sempat ramai tentang kurikulum baru Deep Learning yang digadang-gadang akan menggantikan kurikulum Merdeka. Namun, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) yang baru, Abdul Mu’ti menegaskan bahwa Deep Learning atau pembelajaran mendalam adalah pendekatan belajar untuk meningkatkan kapasitas siswa, bukan kurikulum pendidikan. Hingga kini, ia masih mengkaji kurikulum pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia dan belum memutuskan apakah akan mengganti kurikulum Merdeka atau tidak.
Mu’ti mengatakan bahwa pendidikan Indonesia perlu lebih adaptif terhadap tantangan global, seperti revolusi teknologi, perubahan sosial, dan kebutuhan penguasaan keterampilan berpikir kritis serta kreatif. Deep Learning diyakininya akan mampu memberikan kedalaman belajar yang diperlukan di tengah dunia yang semakin kompleks dan kompetitif, walaupun ada tantangan besar yang harus dihadapi, di antaranya adalah kesiapan tenaga pengajar, sarana dan prasarana, serta perubahan budaya belajar yang harus disesuaikan.
Sudah menjadi kebiasaan di negeri ini, setiap pergantian presiden dan menteri dalam pemerintahan, kemungkinan besar akan berganti juga kebijakannya. Ini membuktikan bahwa sistem di negeri ini tidak memiliki konsistensi, khususnya dalam sistem pendidikan.
Amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa hanya seadar visi yang tak kunjung terwujud nyata. Bahkan, sudah menjadi meme di masyarakat bahwa ‘ganti menteri pendidikan, ganti kurikulum.’ Alih-alih menjadikan generasi semakin cerdas, perubahan kebijakan faktanya sering menimbulkan problematika baru di dunia pendidikan, baik bagi siswa, guru, maupun orang tua.
Bila kita membuka kembali UU No. 20 tahun 2013 pasal 3 mengenai SISDIKNAS, diyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional di antaranya adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Ternyata, kurikulum dan program yang diluncurkan justru jauh dari tujuan pendidikan nasional yang ingin diwujudkan.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme yang diemban negeri ini membuat pendidikan tidak lagi dalam konsep sebenarnya. Tujuan dasar untuk mencerdaskan atau memanusiakan manusia justru berubah, yaitu menghasilkan output pendidikan dalam memenuhi tuntutan pasar bisnis global. Generasi dirancang dan dipersiapkan sekadar untuk mengisi tren pasar lapangan kerja global kapitalisme. Itu pun hanya di tataran pekerja rendahan (buruh), yang justru akan mengancam kedaulatan negeri.
Hal ini berbeda dengan pengaturan sistem Islam dalam penyelenggaraan pendidikan. Di dalam Islam, pendidikan bukan sekadar untuk mencetak manusia yang bermanfaat secara ekonomi. Namun, pendidikan hakikatnya merupakan penunaian kewajiban bagi setiap individu mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, yang dapat maksimal terlaksana jika diselenggarakan oleh sebuah negara. Pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia dan hak mereka, merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhnya. Dengan akidah Islam sebagai asasnya, negara Islam akan menjalankan sistem politik pendidikan Islam, dalam cakupan penerapan Islam kaffah.
Sistem pendidikan Islam memiliki visi yang jelas, yakni mencetak generasi yang berkepribadian Islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam (syakhshiyah islamiyah). Dengan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, serta materi ajar yang terlahir dari akidah Islam, akan lahir generasi yang berkarakter kuat, berkepribadian Islam. Bukan hanya cerdas akal dan tinggi akhlak, tetapi juga berkarakter pemimpin dan menguasai sains teknologi.
Ditopang dengan ekonomi Islam yang menyejahterakan dan kebijakan yang bersumber pada syariat Islam, seluruh elemen masyarakat dapat terpenuhi hak pendidikannya secara gratis, tetapi tetap berkualitas tinggi karena berdimensi akhirat.
Baik pemimpin maupun rakyat, semua menjalankan pendidikan dalam rangka beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada -Nya. Maka, sepanjang sejarah penerapan Islam, khilafah sebagai negara yang menerapkan Islam di dalam dan di luar negeri, mampu bersaing di kancah dunia internasional.
Para sejarawan mencatat bahwa masa-masa awal Daulah Abbasiyah, khususnya pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun, merupakan masa keemasan Islam. Masa itu ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tsaqafah di dunia Islam, yang menjadi indikator tinggi dan majunya penyelenggaraan pendidikan oleh khilafah. Wallahu’alam Bishawwab.
Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom
Sahabat Tinta Media
Views: 3