“Kita akan sama-sama merenungkan Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat ke 115 bahwa ketika shalat menghadap kiblat,” tuturnya dalam program Kajian Jumat Bersama Al Qur’an: Menghadap Kiblat Ketika Shalat, Jumat (10/6/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَاللهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ فَأَينَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إنّ
اللهَ واسِعٌ عَلِيم
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kalian menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (TQS. Al-Baqarah [2]: 115).
Ia mengatakan bahwa Imam Ibnu Katsir memberikan latar belakang akan ayat ini.
“Ayat ini -wallahu a’lam-, mengandung hiburan bagi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang diusir dari Makkah dan dipisahkan dari masjid dan tempat salat mereka,” ucapnya.
Menurutnya, dulu Rasulullah SAW mengerjakan shalat di Makkah dengan menghadap ke Baitul Maqdis, sedang Ka’bah berada dihadapannya. Dan ketika hijrah ke Madinah, beliau dihadapkan langsung ke Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan. “Dan setelah itu, Allah Ta’ala menyuruhnya menghadap Kabah,” katanya.
Imam Al Qurthubi di dalam tafsir beliau Al Jami li Ahkamil Qur’an memberikan penjelasan dari Firman Allah Swt.: المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat.”
Ia memaparkan penjelasannya bahwa Al Masyriq adalah tempat terbitnya matahari (timur) sedangkan Al Maghrib adalah tempat terbenamnya matahari (barat).
Ia menuturkan, selain penghormatan, juga karena sebab musabab ayat ini menuntut agar Timur dan Barat disebutkan.
“Timur dan Barat disebutkan secara khusus dan disandarkan kepada lafadz Allah sebagai tanda penghormatan. Seperti pada kalimat Bait’ullah, naaqatallah (onta Allah),” tuturnya.
Kemudian, ia menjelaskan bahwa Imam Ibnu Katsir dalam kitab An Naasikh wa Mansukh menyebutkan Abu Zubair, Qasim bin Salam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat Al Qur’an yang pertama kali dinasakh dan yang telah diceritakan kepada mereka -wallahu a’lam- adalah masalah kiblat.
“Maka Rasulullah Saw. pun menghadap dan mengerjakan salat ke arag Baitul Maqdis dan menibggalkan Baitul’atiq (Ka’bah). Setelah itu Allah Ta’alla memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul’atiq atau Ka’bah,” jelasnya.
Dan Allah pun menasakh perintah-nya dari menghadap ke Baitul Maqdis. Allah berfirman: “Dan dari mana saja engkau keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah, [2]: 150).
Kembali ia menerangkan penjelasan dari Imam Al Qurthubi bahwa ada dua perbedaan para ulama atas pemahaman ayat:
فَأَينَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ
Dan Imam Al Qurthubi mengatakan, pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Hanya saja Imam Malik berkata, “Orang yang salah tanpa menghadap kiblat itu disunahkan mengulangi salatnya pada waktunya.”
“Namun hal itu bukanlah suatu kewajiban baginya sebab dia telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya,” tuturnya.
Kedua, terkait ayat tersebut bahwa Ibnu Umar mengatakan ayat ini diturunkan tentang seorang musafir yang melakukan salat sunah seraya menghadap ke mana pun hewan tunggangannya menghadap,”.
“Tidak ada silang pendapat di antara para ulama mengenai diperbolehkannya melaksanakan salat sunah di atas hewan tunggangan,” katanya.
Ketiga, Ibnu Said mengatakan orang-orang Yahudi menganggap baik shalat Nabi menghadap ke Baitul Maqdis. Mereka mengatakan bahwa Nabi mendapatkan petunjuk melainkan karena mereka (Yahudi). Dan ketika kiblat dialihkan ke Ka’bah, Yahudi mempertanyakan umat Islam yang telah berpaling dari kilahnya (Baitul Maqdis). “Maka turunlah ayat ini,” ujarnya.
Sementara, ia menjelaskan pendapat Mujahid yang mengatakan di mana pun kalian (umat Islam) berada maka bagi kalian menghadap ke Ka’bah.
“Dan dikatakan bahwa Allah Swt. menurunkan ayat ini sebelum diwajibkannya menghadap Ka’bah, yakni Surat Al-Baqarah ayat 150 yang menasakh ayat ini,” jelasnya.
Selanjutnya ia menerangkan penutup ayat ini:
إنّ اللهَ واسِعٌ عَلِيم
“Sesungguhnya Allah Maha luas lagi Maha mengetahui.”
“Menurut Ibnu Jarir, bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan kecukupan, kedermawanan, dan karunia. Sedangkan makna firman-Nya, yakni Allah mengetahui semua perbuatan makhluk-Nya,” jelasnya.
“Tidak ada satu perbuatan pun yang tersembunyi dan luput dari-Nya, tetapi sebaliknya, Dia Maha mengetahui seluruh perbuatan mereka. Demikianlah makna Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 115,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Views: 0