Tinta Media – Kelangkaan LPG 3 kg di berbagai daerah kembali menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat. Gas melon yang seharusnya mudah diakses kini semakin sulit ditemukan. Pemerintah beralasan bahwa perubahan sistem distribusi—dengan mewajibkan pengecer menjadi pangkalan resmi—bertujuan menertibkan pasar. Namun, kebijakan ini justru menambah kesulitan bagi masyarakat kecil, baik sebagai konsumen maupun pengecer.
Menurut BeritaSatu.com (2/2/2025), LPG 3 kg langka di Jakarta, bahkan harganya melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Tribunnews.com (2/2/2025) juga melaporkan bahwa pemerintah membantah adanya kelangkaan, tetapi faktanya masyarakat kesulitan mendapatkannya di warung-warung. Kompas.com (2/2/2025) menyoroti bahwa pemerintah meminta masyarakat membeli langsung di pangkalan resmi, meskipun jumlah pangkalan sangat terbatas.
SDA Berlimpah, tapi Rakyat Menderita
Indonesia memiliki cadangan gas alam yang melimpah. Beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua menjadi pusat produksi gas bumi, dengan Blok Mahakam di Kalimantan Timur sebagai salah satu sumber utama. Namun, meskipun kaya sumber daya, rakyat justru sering menghadapi kelangkaan LPG (mediaindonesia.com , 24/10/2024).
Masalah utama bukanlah ketersediaan gas, tetapi distribusi dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan yang menghapus pengecer kecil dan mengalihkan distribusi ke pangkalan resmi telah mempersempit akses masyarakat terhadap energi yang seharusnya menjadi hak mereka. Di sisi lain masyarakat telah ketergantungan terhadap gas sebagai sarana memasak.
Dampak UU Minerba terhadap Distribusi LPG
Meskipun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) berfokus pada tambang mineral dan batubara, kebijakan ini memiliki efek domino terhadap sektor energi lainnya, termasuk LPG. UU Minerba menggantikan sistem Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diberikan melalui sistem lelang. Tujuannya adalah menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Namun, sistem ini justru menguntungkan perusahaan besar yang memiliki modal kuat, sehingga perusahaan kecil kesulitan bersaing.
Akibatnya, penguasaan sumber daya menjadi terkonsentrasi di tangan segelintir korporasi besar. Dalam konteks LPG, monopoli ini bisa berkontribusi terhadap kelangkaan dan kenaikan harga karena distribusi menjadi semakin dikendalikan oleh pemodal besar.
Negara dalam Cengkeraman korporasi
Masalah distribusi LPG bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menunjukkan kuatnya dominasi korporasi dalam kebijakan energi nasional. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan sumber daya alam sering kali diserahkan kepada pihak swasta melalui mekanisme privatisasi. Kapitalisme membagi kepemilikan menjadi kepemilikan individu dan kepemilikan negara, tetapi sering kali negara berperan hanya sebagai fasilitator bagi korporasi besar.
Dalam sistem ini, sumber daya alam yang semestinya menjadi hak rakyat diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan segelintir pihak. Negara hanya berfungsi sebagai regulator yang menetapkan kebijakan berdasarkan kepentingan pasar. Akibatnya, perusahaan besar yang memiliki modal dan akses terhadap kebijakan lebih leluasa mengontrol harga serta distribusi energi, sementara rakyat kecil hanya menjadi konsumen pasif yang harus tunduk pada mekanisme pasar.
Prinsip liberalisme ekonomi yang menjadi dasar kapitalisme membuat pemerintah lebih mengutamakan mekanisme pasar daripada kepentingan rakyat. Akibatnya, rakyat kecil harus bersusah payah mendapatkan hak mereka. Sementara korporasilah yang tetap diuntungkan.
Solusi Islam: SDA untuk Kesejahteraan Rakyat
Dalam Islam, sumber daya alam seperti minyak dan gas adalah milik rakyat dan harus dikelola oleh negara untuk kepentingan umum. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa energi, termasuk gas, adalah kepemilikan umum yang tidak boleh diserahkan kepada individu atau korporasi. Negara wajib mengelola dan mendistribusikannya dengan harga terjangkau atau bahkan gratis bagi masyarakat.
Kepemilikan dalam Sistem Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam membagi kepemilikan menjadi tiga jenis utama:
1. Kepemilikan Individu
Setiap individu berhak memiliki harta benda tertentu yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan syariat, seperti hasil kerja atau warisan. Namun, kepemilikan ini tidak mencakup sumber daya alam yang bersifat umum, seperti minyak dan gas.
2. Kepemilikan Umum
Sumber daya alam yang jumlahnya besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti minyak, gas, air, dan tambang besar, harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Sumber daya ini tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, LPG sebagai bagian dari energi yang vital akan dikelola negara dan disediakan untuk rakyat dengan harga murah atau bahkan gratis.
3. Kepemilikan Negara
Beberapa aset atau sektor yang strategis bisa dimiliki oleh negara untuk menopang anggaran, seperti industri berat atau tanah tertentu. Namun, negara tidak boleh menjadikan sumber daya alam sebagai alat komersialisasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Dalam sistem Islam, negara juga memiliki mekanisme Baitulmal, yaitu lembaga keuangan negara yang mampu membiayai sektor energi tanpa harus bergantung pada utang atau pajak yang membebani rakyat. Dengan mekanisme ini, distribusi LPG tidak akan bergantung pada pasar dan kepentingan korporasi, melainkan langsung diatur oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyelesaikan kelangkaan LPG, maka yang dibutuhkan bukan sekadar regulasi yang bersifat sementara, tetapi perubahan fundamental dalam sistem ekonomi. Negara harus kembali mengambil peran utama dalam mengelola SDA dan menjadikannya sebagai hak rakyat. Bukan sekadar komoditas untuk keuntungan segelintir orang. Dengan prinsip kedaulatan berdasarkan hukum syarak, korporasi tidak akan bisa mendikte kebijakan negara. Penguasa dalam sistem Islam hanya menjalankan aturan yang berpihak pada rakyat dan tidak boleh memfasilitasi kepentingan segelintir elite.
Hanya dengan sistem yang berpihak kepada kepentingan rakyat, kesejahteraan dan keadilan dalam pengelolaan SDA dapat benar-benar terwujud. Sistem Islam memastikan bahwa sumber daya alam dikelola sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, tanpa membiarkan segelintir pemodal besar menguasai dan memperdagangkannya demi keuntungan pribadi. Dengan demikian, kelangkaan LPG dan permasalahan distribusi energi tidak akan terjadi karena negara berperan aktif sebagai pengelola yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Wallahualam bii Shawab.
Oleh: Khodijah Ummu Hannan
Sahabat Tinta Media
Views: 0