Tinta Media – Banyaknya perempuan terjerat pinjaman online (pinjol) yang telah berlangsung cukup lama menarik perhatian Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Terungkap, dalam kurun waktu 2018-2024, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima aduan sebanyak 1.944 dari korban pinjol di dalam maupun di luar Jabodetabek. Sebagian besarnya, 62,14% atau 1.208 berjenis kelamin perempuan. Sedangkan sisanya, 37,76%, atau 734 laki-laki.
Puan pun menekankan, agar pemerintah memperketat aturan (regulasi) pinjol. Sebab menurutnya, hal ini mencerminkan ketidakberdayaan perempuan, khususnya kepala keluarga, dalam menghadapi impitan ekonomi.
Sebagaimana diberitakan detik.com, Senin (28/4/2025), ketua DPR RI dan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini berujar bahwa DPR berkomitmen untuk memperjuangkan peraturan yang lebih ketat dalam pengawasan industri keuangan ini, sehingga perempuan dapat memiliki akses yang lebih baik untuk kebutuhan finansial mereka tanpa terjerat dalam utang.
Artinya, Puan mendorong pemerintah untuk terus membolehkan keberadaan praktik pinjol di negeri ini, dia menginginkan pinjol diatur oleh pemerintah bersama harapan palsu layanan finansial yang lebih aman dan ramah bagi perempuan, berbunga rendah yang mungkin menurutnya supaya tidak memberatkan para perempuan pelaku pinjol.
Pertanyaan kritisnya, “Benarkah memperketat aturan (regulasi) pinjol akan menjadi solusi yang hakiki? Ataukah, ini justru menunjukkan kegagalan pemerintah dan sistem ekonomi kapitalismenya yang mengatur kehidupan kita saat ini?”
Masalahnya, kita dapat mencermati, dalam sistem kapitalisme yang tegak ditengah-tengah kehidupan kita hari ini, negara lebih bertindak sebagai pengatur permainan atau wasit ketimbang sebagai pengurus dan pelindung rakyat dari segala hal yang membahayakan.
Kebutuhan hidup serba dipikul sendiri oleh individu rakyat, jika pun ada tampak gratisan dan subsidi yang ditanggung negara, namun cakupannya hanya sedikit, tidak luas atau terbatas seolah sekadar untuk pencitraan diri dari para pejabat publik dan politisi. Dan pada umumnya, harga berbagai kebutuhan pokok kini terasa begitu tinggi, selalu mengalami kenaikan karena kapitalisasi dan komersialisasi.
Apalagi, menyebarnya pinjol sebagai bisnis uang dalam praktik ekonomi ribawi yang telah dilegalisasi negara hari ini, mengakibatkan kaum perempuan yang secara fitrah memiliki amanah peran yang mulia dalam keluarga sebagai ibu dan pendidik generasi, terpaksa harus larut sibuk berhadapan dengan sistem ekonomi predatoris (pemangsaan; yang kuat memangsa yang lemah) demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya.
Berbeda halnya dalam pandangan dan situasi Islam ketika benar-benar diterapkan, negara dalam sistem Islam memiliki kewajiban (bertanggung jawab) penuh atas kesejahteraan seluruh rakyatnya. Kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, wajib dipastikan tersedia untuk setiap individu masyarakat, termasuk perempuan. Di antara caranya, negara dalam Islam akan mengelola sumber daya alam (SDA) milik umum seperti tambang, air, dan energi, serta mendistribusikan hasilnya secara adil.
Dan yang lebih penting dari itu semua adalah bahwa Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan utang piutang berbunga (praktik ribawi). Riba merupakan dosa besar yang pelakunya diancam oleh Allah SWT. dengan laknat dan azab (siksa) neraka yang pedih. Allah menyatakan bahwa pelaku riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan seperti orang gila yang kerasukan setan. (QS. Al-Baqarah: 275).
Tak ada legalisasi transaksi riba yang dilegalkan di dalam Islam. Dan saking besarnya dosa riba, Allah pun mengumumkan perang bagi orang-orang yang tidak mau meninggalkannya, sebagai indikasi begitu sangat besarnya dosa perbuatan riba. (QS. Al-Baqarah: 279)
Selain itu, Rasulullah saw. juga menegaskan, “Satu dirham yang dimakan seseorang dari riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Bahkan lebih mengerikannya lagi, dalam hadits yang lain, disebutkan bahwa dosa riba yang paling ringan seperti berzina dengan ibu kandung sendiri. (HR. Ath-Thabrani).
Harus juga menjadi perhatian kita semua, dampak buruk langsung dosa riba telah terbukti tidak hanya merusak banyak individu rakyat dengan membelenggu mereka dalam lingkaran utang tak berkesudahan, tetapi juga menghancurkan perekonomian masyarakat, memperlebar kesenjangan sosial, serta menghilangkan keberkahan dalam kehidupan. Sudah banyak berita tentang bunuh diri karenanya.
Dalam sistem Islam, bukan hanya bunga pinjol yang dilarang, tapi juga seluruh bentuk transaksi ribawi. Sebagai gantinya, negara menyediakan mekanisme bantuan non-komersial seperti qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga), baitul mal, serta program zakat, infak, dan sedekah yang dikelola secara institusional dan profesional.
Maka dengan begitu, perempuan, termasuk kepala keluarga, tidak perlu lagi menggadaikan masa depannya pada jebakan dan jerat utang berbunga hanya untuk bertahan hidup bagi diri dan keluarganya.
Dari sini jelas bahwa solusi memperketat regulasi pinjol tanpa mencabut kapitalisme-sekularisme sebagai akar persoalan yang tak merujuk pada standar halal dan haram, ibarat menambal genting bocor saat bangunan rumah sudah lapuk.
Solusi tambal sulam ini tidak akan menyelesaikan krisis kesejahteraan kaum perempuan. Hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah yang menempatkan negara sebagai penanggung kebutuhan dan kesejahteraan sejati rakyat bisa diraih.
Sudah saatnya umat Islam, khususnya para pemimpin negeri ini sadar bahwa problematika ekonomi tidak akan selesai dengan tambalan peraturan atau regulasi kapitalistik. Dan mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan sistem Islam yang bernama Khilafah adalah kewajiban atau keharusan sebagai jalan untuk menyelamatkan perempuan dari keharaman dan jeratan utang ribawi yang bisa menyengsarakan di dunia dan di akhirat.
[Tangsel, Senin 26/5/2025]
Oleh: Muhar
Jurnalis
Views: 33