Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads
Kisruh Pilkada Terus Terjadi, Masih Yakin Terapkan Demokrasi?

Tinta Media – Fenomena pertemuan tertutup yang melibatkan kepala desa
(kades) di Jawa Tengah baru-baru ini menimbulkan beragam pertanyaan mengenai
integritas dan transparansi dalam proses pemilihan. Pada malam 23 Oktober 2024,
puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) berkumpul di
sebuah hotel bintang lima di Semarang, menjadikan acara ini sebagai sorotan
publik. Ketika penggerebekan oleh Bawaslu terjadi, situasi ini menciptakan
keprihatinan mendalam tentang bagaimana pemimpin lokal menjalankan tanggung
jawab mereka.

Pertemuan yang berlangsung di Gumaya Tower Hotel ini
mengumpulkan sekitar 90 kades dari berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk
Pati, Rembang, Blora, dan banyak lagi. Mereka hadir dengan semangat berslogan “Satu
Komando Bersama Sampai Akhir,” yang tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai
agenda yang dibahas di balik pintu tertutup. Ketika Bawaslu Kota Semarang
datang untuk melakukan pemantauan, para kades pun terpaksa membubarkan diri,
menandakan bahwa ada yang tidak beres dengan kegiatan ini.

Ketua Bawaslu Kota Semarang, Arief Rahman, menegaskan bahwa
pertemuan tersebut melanggar ketentuan yang ada dan memicu tindakan hukum.
Dalam konteks hukum, Pasal 188 UU Pilkada menyatakan bahwa kades yang melanggar
ketentuan bisa dikenakan sanksi yang serius, termasuk pidana penjara dan denda.
Ini menunjukkan betapa pentingnya peraturan dalam menjaga keadilan dan
integritas dalam pemilihan, terutama di tingkat desa (Tirto.id, 26/10/24).

Kejadian ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita
semua, baik bagi para pemimpin desa maupun masyarakat luas. Apakah kita siap
untuk menghadapi tantangan dalam menjalankan demokrasi yang sehat? Atau kita
akan terus membiarkan praktik-praktik yang merugikan proses pemilihan
berlangsung tanpa pengawasan yang memadai? Kemandirian dan integritas dalam
kepemimpinan lokal harus diutamakan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan kemajuan bagi masyarakat.

Mobilisasi yang dilakukan oleh kades untuk memenangkan salah
satu kandidat pada gelaran pemilu memang bukan hal baru. Namun, praktik kotor
semacam ini tak semestinya dianggap wajar, dan Bawaslu harus tegas mengusutnya.
Bahkan, banyak kekisruhan mengiringi proses pilkada di berbagai daerah.
Berbagai cara dilakukan oleh para calon agar rakyat memilih mereka, mulai dari
praktik suap yang terus terjadi setiap tahunnya hingga metode baru yang
dijanjikan masuk surga, dan lain-lain.

Dan tentu saja, rakyat akan menjadi korban dari proses
pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi, yang sejatinya hanya
menguntungkan kepentingan pihak tertentu atau oligarki. Padahal, biaya yang
digunakan oleh mereka berasal dari uang rakyat, sementara rakyat justru
mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut, seperti perpecahan, konflik
horizontal, dan tidak terwujudnya kesejahteraan. Sementara itu, mereka yang
berkepentingan justru meraih keuntungan, terutama materi.

Berbeda dengan sistem pemilihan yang diterapkan dalam Islam.
Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya karena Kepala Daerah
(Wali dan Amil) ditetapkan dengan cara penunjukan secara langsung oleh
Khalifah, sesuai dengan kebutuhan Khalifah serta dengan kriteria yang bukan
sekadar syarat administratif yang sulit dan aneh. Wali dan Amil akan dipilih
berdasarkan kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan umat, mengingat
posisi mereka sebagai pembantu Khalifah yang akan membantu menyelesaikan permasalahan
umat berdasarkan hukum Islam.

Maka agar penunjukan ini dilakukan secara tepat, khalifah
akan memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas.
Sehingga, selain menghemat anggaran negara, rakyat pun tetap mendapatkan
pemimpin yang berkualitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum
syariat, rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera.

Namun, penerapan sistem penunjukan ini tak akan dapat kita
lakukan dalam penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebab, sistem ini tak akan
sejalan dengan praktik yang tidak menghasilkan keuntungan bagi para oligarki.
Maka, penerapan sistem Islam dalam pemilihan kepala daerah harus dibarengi
dengan penerapan sistem Islam lainnya secara kaffah, yang akan menunjang
perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.

Wallahu a’lam.

Oleh: Devi Aryani, Aktivis Muslimah

Views: 0

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA