Pajak dan Sistem Kapitalisme Gagal Menyejahterakan Rakyat

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Taukah Anda bahwa 80% pendapatan negara ini bersumber dari pajak? Pajak sendiri diartikan sebagai pungutan yang dibebankan kepada rakyat atas barang, jasa, atau aset tertentu dengan nilai manfaat.

Mengutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), keberadaan pajak di Indonesia telah hadir sejak zaman kerajaan yang dikenal juga dengan istilah upeti. Saat itu, upeti dipungut dari masyarakat untuk membangun dan membiayai kerajaan mulai dari kegiatan operasional kerajaan, membangun dan merawat infrastruktur, hingga menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Sebagai gantinya, raja pun menjamin rakyat melalui keamanan dan ketertiban.

Seiring berkembangnya zaman, pajak semakin berkembang secara dinamis dan sistematis di negara ini. Pajak semakin dikukuhkan sebagai sumber pendapatan negara yang dibebankan kepada rakyat Indonesia. Pajak diatur dalam Pasal 23A UUD NKRI 1945. Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Hingga saat ini, pajak digunakan untuk mendanai keperluan negara, termasuk dalam peningkatan ekonomi. Dengan kata lain, untuk mendanai kehidupan negara, dananya diambil dari masyarakat itu sendiri melalui pemungutan pajak dan pungutan lainnya, sehingga terwujud APBN yang berasal dari kita, oleh kita, dan untuk kita.

Namun pada faktanya, hingga saat ini pajak masih dirasa membebani rakyat. Terlebih di zaman serba sulit seperti sekarang, di saat biaya kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) terus meningkat. Belum lagi kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang belum bisa dinikmati secara merata oleh masyarakat. Bahkan pendidikan, kesehatan dan keamanan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh mereka yang “berduit”, sementara mereka yang hidupnya pas-pasan atau hidup di bawah garis kemiskinan tidak bisa merasakan semua itu dengan kualitas terbaik.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang dirasakan oleh masyarakat saat ini. Sudahlah berat menanggung beban hidup, ditambah lagi beban karena harus merasakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Belum lagi terkait pajak lainnya seperti pajak rumah, pajak penghasilan, pajak kendaran, dll, yang tentu harus ditanggung oleh masyarakat.

Meskipun pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN ini hanya ditujukan untuk produk mewah, sebagaimana yang dilansir oleh tirto.id (31/12/24), Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjamin kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen tak akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Namun, berbagai kalangan masyarakat termasuk para pengamat ekonomi mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebagai efek domino dari kebijakan ini.

Tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid merespon kebijakan pemerintah tersebut. Menurutnya, kebijakan ini justru akan semakin melemahkan daya beli masyarakat. Hal ini juga dianggap akan menyebabkan inflasi yang menambah kompleksitas masalah dan dinilai berpotensi menimbulkan gejolak sosial. (Kompas.com, 28/12/24)

Pakar ekonomi Universitas Mataram (Unram) M Firmansyah mengatakan bahwa kenaikan PPN ini akan memiliki efek domino pada harga barang. Meski pemerintah mengatakan kenaikan PPN hanya berlaku bagi barang mewah, tetapi psikologi pasar akan berpengaruh juga ke harga barang lainnya sehingga menimbulkan efek domino. (Lombokpost.com, 30/12/24)

Pajak ala Kapitalisme Menyengsarakan Rakyat

Bagaimanapun, penerapan pajak yang diberlakukan di negeri ini sejatinya masih membebani rakyat. Terlebih dengan adanya fakta kemiskinan yang terus bertambah, angka kriminalitas yang terus meningkat, dan masalah-masalah sosial lainnya di tengah masyarakat. Ini menjadi bukti bahwa negara telah gagal dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Tak bisa dimungkiri, ini semua akibat sistem kehidupan kapitalisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang lahir dan berdiri di atas sekularisme dan liberalisme ini begitu menuhankan akal dan kebebasan. Bahkan, dalam ide demokrasi dikenal kredo yang berbunyi vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan). Dengan keyakinan seperti itu, akhirnya demokrasi menempatkan suara rakyat menjadi kedaulatan tertinggi dalam sebuah pemerintahan.

Dalam sistem ini, tak dikenal istilah halal-haram, karena demokrasi berdiri di atas sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini pula agama hanya diletakkan pada ranah individu. Agama dilarang mencampuri kehidupan secara umum karena dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dielu-elukan.

Namun dalam praktiknya, demokrasi yang saat ini dijalankan nyatanya tidak sesuai jargon yang mereka agungkan. Tak ada lagi istilah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Yang ada justru dari rakyat, untuk para penguasa dan pengusaha. Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung hanya menguntungkan para pemilik modal.

Dalam sistem kapitalis demokrasi, peran negara seolah diminimalisir. Negara tidak sepenuhnya mengurus urusan rakyat. Salah satu fakta adalah dengan adanya pungutan pajak. Dengan pajak yang membebani, rakyat seperti membiayai sendiri kebutuhan akan berbagai layanan yang dibutuhkan.

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, yang hanya melayani kepentingan para pemilik modal, sementara rakyat biasanya akan terabaikan.

Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena tidak lagi memandang kondisi rakyat, mampu atau tidak. Mirisnya, banyak kebijakan pajak yang justru memberikan keringanan pada para pemilik modal, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar.

Asumsinya, investasi tersebut diharapkan akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Namun, faktanya tidak seperti itu. Yang ada, justru banyak kasus seperti manipulasi pajak yang seolah tak ada habisnya, baik di tingkat daerah maupun pusat.

Tempo.co (9/12/2024), dalam laman beritanya melansir bahwa selama 5 tahun terakhir, KPK sudah menangani 597 perkara tindak pidana korupsi.

Kondisi di atas memang tak bisa dihindari dalam sistem kapitalisme yang menjadi sumber masalah. Padahal, di sisi lain, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Namun sayangnya, kekayaan tersebut tidak dimanfaatkan sebagai pemasukan utama negara. Negara justru melegalkan privatisasi SDA oleh para kapitalis pemilik modal, baik dari asing maupun swasta lokal Alhasil, mereka bisa berkuasa sepenuhnya terhadap kekayaan di negeri ini.

Umat Harus Sadar, Islam Satu-satunya Solusi

Oleh karena itu, umat harus sadar dan mencari solusi atas semua permasalahan yang ada, termasuk masalah pajak di negeri ini. Satu-satunya solusi yang dapat menyelesaikan semua itu adalah sistem Islam, yakni daulah Khilafah Islamiyah. Nyatanya, Islam memiliki mekanisme luar biasa untuk menyejahterakan rakyat tanpa menetapkan wajib pajak bagi seluruh rakyat.

Selain itu, Daulah Khilafah memiliki lembaga pengelola keuangan negara yang akan mengelola kas sesuai hukum syara’. Lembaga tersebut adalah Baitul Mal.

Pada dasarnya, terdapat pemasukan rutin bagi Baitul Mal. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan pos-pos pemasukan (sumber pemasukan) tersebut hak atas kaum muslimin yang notabene juga hak Baitul Mal.

Sumber keuangan Khilafah di Baitul Mal berasal dari tiga pos, yakni pos kepemilikan negara (seperti fai, kharaj, kharaj, ghanimah, jizyah dan sejenisnya). Alokasi pos ini diperuntukkan membangun infrastruktur negara, membiayai dakwah dan aktivitas jihad yang dilakukan oleh negara dalam membebaskan sebuah wilayah, menjamin kesejahteraan pegawai negara, dan sejenisnya.

Selain itu, ada pos kepemilikan umum yang berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri oleh negara, dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana ketentuan syariat Islam. Bentuknya bisa berupa jaminan langsung (seperti subsidi) dan jaminan tidak langsung untuk kebutuhan dasar (seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan).

Yang berikutnya yaitu pos zakat, baik zakat fitrah, zakat mal, shadaqah, infaq, dan wakaf dari kaum muslim. Baitul Mal hanya menjadi tempat penyimpanan harta zakat, yang kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan di dalam syariat.

Adapun pajak atau dlaribah dalam Islam, menurut Syekh Abdul Qodim Zallum dalam kitab Al Amwal fii Daulatil Khilafah, pada bab Pajak halaman 150, dikatakan bahwa pajak atau dlaribah merupakan harta yang diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’Ala kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, yaitu pada saat kondisi di Baitul Mal kaum muslimin tidak ada uang atau harta.

Pajak diambil hanya dari kalangan kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta. Itu pun setelah mereka memenuhi kebutuhan dasar dan perlengkapannya secara sempurna sesuai standar hidup tempat tinggal mereka. Jadi, pajak bukan dibebankan kepada seluruh warga daulah Khilafah.

Pajak dalam Islam juga tidak boleh dipaksakan pemungutannya melebihi kesanggupan atau melebihi kadar harta yang dimiliki oleh orang-orang kaya, atau berusaha untuk menambah pemasukan Baitul Mal. Dengan kata lain, pajak tidak boleh diwajibkan kecuali sekadar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos yang kekurangan. Pajak tidak boleh diambil lebih dari itu sebab pengambilan yang lebih berarti zalim dan hal ini bukan kewajiban kaum muslimin untuk membayarnya.

Islam juga melarang negara untuk mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barang dagangan), atau lainnya yang bukan keperluan pajak (yang sudah ditetapkan oleh Syara). Karena, hal itu bisa masuk dalam tindakan memungut cukai (al-maksu), sementara cukai atau al maksu dilarang, sebagaimana hadits Rasulullah SAW, “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.” (HR. Ahmad, ad-Darimi, dan Abu Ubaid)

Demikianlah mekanisme pemasukan keuangan dalam daulah Khilafah untuk memberikan kesejahteraan rakyat. Dengan pengaturan ekonomi Islam dan sistem politiknya, khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu, tanpa membebani seluruh rakyat dengan pungutan pajak seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

 

 

Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Pemerhati Sosial dan Media)

Views: 4

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA