Tahun Ajaran Baru, Luka Lama yang Kembali Menganga

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Juli kembali datang. Bagi sebagian orang, ini bulan penuh semangat saat anak-anak memulai tahun ajaran baru. Seragam disetrika rapi, sepatu mengilap, suasana sekolah hidup kembali, dan wajah-wajah kecil terlihat penuh harap. Tapi bagi kami, para orang tua dari kalangan rakyat jelata, Juli justru menghadirkan kembali luka lama yang belum sembuh, beban biaya pendidikan yang kian mencekik dan tak pernah mendapat solusi nyata dari negara.

Seperti dilansir Kompas.com tertanggal 27 Juni 2024, tahun ajaran baru akan dimulai serentak pertengahan Juli di seluruh provinsi. Pemerintah juga menggulirkan program Sekolah Rakyat sebagai bentuk kepedulian bagi keluarga tidak mampu.

Menurut Detik.com pada 29 Juni 2025, Sekolah Rakyat akan mulai beroperasi pada 14 Juli 2025, menyiapkan 100 unit rintisan dan 20.000 calon siswa dengan konsep asrama dan fasilitas lengkap.

Namun, rakyat tetap dibebani kebutuhan sekolah yang wajib disiapkan sendiri. Kami yang hanya ingin menyekolahkan anak-anak justru harus jungkir balik memenuhi segala hal yang seolah dianggap biasa: seragam baru, sepatu baru, buku dan alat tulis baru. Bukan karena gaya hidup, tapi karena yang lama sudah rusak, robek, tidak layak, atau bahkan hilang. Tidak ada pilihan.

Saya duduk di dapur, menatap daftar kebutuhan sekolah anak-anak saya. Dari TK hingga SMA, semuanya memerlukan biaya. Seragam tahun lalu kekecilan dan robek di bagian lutut. Sepatu jebol, solnya copot. Tas penuh tambalan, lebih mirip kantong darurat daripada wadah menimba ilmu. Sekolah negeri katanya gratis, tetapi kenyataannya kami tetap harus membeli perlengkapan wajib seperti baju olahraga, baju batik, dasi, topi berlabel sekolah, dan kaus kaki yang warnanya harus seragam.

Semua itu tidak disediakan oleh negara, padahal andai saja perlengkapan dasar itu menjadi tanggungan negara, tentu beban orang tua akan jauh lebih ringan. Sayangnya, kami dibiarkan mencari sendiri, dengan kantong yang makin menipis dan harapan yang terus diuji.

Saya bertanya dalam hati, siapa sebenarnya yang merdeka? Kami, para orang tua? Anak-anak kami? Atau para pejabat yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri dengan dana pajak kami?

Jargon “merdeka belajar” terdengar megah, tapi yang kami rasakan hanyalah kemerdekaan dari bantuan. Kami disuruh mandiri tanpa diberi kekuatan. Disuruh sabar tanpa diberi solusi. Saat orang tua mengeluh soal biaya sekolah, jawabannya hanya program sesaat atau imbauan swadaya masyarakat. Sementara para pejabat menikmati fasilitas yang tidak pernah kami rasakan.

Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar, namun sekarang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu. Yang miskin harus berjuang ekstra agar tetap bisa duduk di bangku sekolah. Ini bukan salah satu pihak, tetapi salah sistem. Sistem yang memandang pendidikan sebagai beban anggaran, bukan sebagai amanah suci dari Allah untuk mencerdaskan umat.

Dan saat kami mengadu, negara hadir hanya sebagai pengelola kurikulum, bukan pelindung dan pemelihara hak rakyat. Maka masalah ini bukan semata soal anggaran, tetapi soal tidak hadirnya sistem yang benar.

Padahal sejarah membuktikan, selama lebih dari 1.300 tahun Kekhilafahan Islam berdiri, pendidikan tidak pernah menjadi komoditas atau beban tahunan yang menyesakkan bagi rakyat. Di era Daulah Abbasiyah, Utsmaniyah, dan Andalusia, negara membiayai sekolah dan madrasah secara cuma-cuma, menggaji guru, memfasilitasi pelajar, dan memuliakan ilmu sebagai jalan menuju peradaban. Tidak ada iuran komite, tidak ada pungutan buku, tidak ada drama seragam tambal sulam.

Khilafah Islam menggunakan Baitul Mal untuk membiayai pendidikan rakyat karena dalam pandangan syariat, menuntut ilmu adalah kewajiban dan negara bertugas memudahkan. Ulama besar seperti Imam Syafi’i, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, hingga Ibnu Sina lahir dari sistem pendidikan Islam yang terstruktur, adil, dan berbasis akidah.

Inilah pendidikan sejati, yang mencerdaskan akal, membersihkan jiwa, dan membentuk pribadi generasi khayru ummah. Generasi yang tidak hanya memahami rumus dan teori, tetapi juga memiliki keteguhan iman, keberanian membela kebenaran, dan semangat melanjutkan risalah Nabi Muhammad SAW.

Hari ini, sistem itu telah direnggut. Umat Islam tercerai-berai dalam sekat nasionalisme, kehilangan pelindung, dan diserahkan kepada sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai ladang keuntungan. Kita bukan hanya kehilangan fasilitas, kita kehilangan arah.

Maka jangan hanya mengeluh setiap Juli tiba. Jangan hanya bersabar sambil meminjam uang demi kebutuhan sekolah yang menuntut untuk terus diganti, dari seragam yang robek, sepatu yang jebol, hingga alat tulis yang hilang entah ke mana.

Saatnya kita menyadari bahwa semua masalah umat, termasuk pendidikan, tidak akan selesai kecuali kembali pada sistem Islam kaffah.

Kita butuh perubahan hakiki, bukan tambal sulam. Kita butuh sistem yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, bukan sekadar simbol. Kita butuh negara yang menjadikan pendidikan sebagai bagian dari ibadah, bukan proyek politik.

Hanya dengan kembalinya khilafah ala minhajin nubuwwah, luka pendidikan ini akan sembuh. Tahun ajaran baru tidak lagi menjadi beban menakutkan, tapi awal pembentukan peradaban. Dan generasi khayru ummah bukan lagi sekadar harapan, tetapi keniscayaan.[]

Oleh : Rini Sulistiawati
Penggiat Literasi Islam

Penulis adalah penggiat literasi Islam, ibu dari lima anak, dan pendongeng edukatif yang aktif menyerukan kebangkitan umat melalui tulisan dan dakwah bil hikmah.

Views: 26

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA