Tinta Media – Raja Ampat, gugusan pulau-pulau indah di ujung Barat Papua itu dikenal sebagai kawasan ekowisata terbaik dunia. Laut biru jernih, terumbu karang yang subur, dan budaya masyarakat adat yang masih lestari menjadikannya sebagai “surga terakhir di bumi.” Namun, keindahan itu kini berada di ambang kehancuran. Penyebabnya adalah penambangan nikel oleh empat perusahaan tambang, yaitu PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
Dampak dari adanya undang-undang cipta kerja yang berpihak kepada investor, terutama soal tambang, menjadikan perusahaan perusahaan tersebut dengan mudahnya mengantongi izin untuk melakukan penambangan nikel demi memenuhi permintaan naiknya tren mobil listrik. Mereka melakukan pembabatan hutan, pengerukan tanah, sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem dan juga berisiko menghabiskan daratan pulau dan juga laut.
Kerusakan parah yang ditimbulkan oleh penambangan nikel tersebut memicu aktivis lingkungan Greenpeace untuk bersuara. Mereka berusaha menyadarkan pemerintah agar segera menyikapi penambangan yang katanya untuk kemajuan pembangunan Indonesia, tetapi ternyata menimbulkan kerusakan ekosistem Raja Ampat.
Menanggapi protes dan seruan dari Greenpeace dan masyarakat, pemerintah berdalih sudah melakukan tindakan melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk melakukan pengawasan terhadap empat perusahaan tambang nikel tersebut. KLH akan menghentikan perusahaan dan mencabut izin jika terbukti melanggar hukum. Pemerintah daerah sendiri ternyata tidak mempunyai kekuatan untuk menahan investasi yang datang dari pusat ini.
Dari sini terlihat bahwa pemerintah sejak awal tidak serius dalam menjaga keamanan dalam negerinya. Seharusnya negara benar-benar memperhatikan setiap perizinan, terutama yang rawan menimbulkan kerusakan lingkungan. Harusnya, pemerintah dengan kebijakannya yang tegas tidak sembarangan memberikan izin kepada individu maupun perusahaan swasta, apalagi swasta asing untuk mengelola sumber daya alam, karena sumber daya alam itu adalah milik umat. Ini sama saja dengan menjual aset negara.
Negara tidak berhak memberikan izin kepada pihak lain untuk mengelolanya. Negara hanya berhak mengelolanya dan hasilnya diperuntukkan bagi rakyat.
Seandainya tidak ada teriakan dari Greenpeace maupun masyarakat sehingga menjadi viral, mungkin kegiatan eksploitasi akan terus dibiarkan.
Pemerintah melanggar aturan yang mereka buat sendiri atas nama kemajuan dan investasi. Sehingga, wilayah yang dalam undang-undang merupakan konservasi menjadi legal jika digunakan untuk kepentingan korporat. Negara bertekuk lutut di hadapan para pengusaha yang dengan leluasa mengendalikan pemerintah.
Dalam Pandangan Islam
Pengelolaan sumber daya alam oleh pihak yang tidak seharusnya demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya meskipun bertentangan dengan aturan-aturan syariat adalah ciri khas pengelolaan kapitalisme. Untuk urusan kehidupan, mereka tidak mau mencampur dengan aturan syariat. Mereka lebih yakin dengan aturan yang mereka buat sendiri alias aturan yang berasal dari manusia sendiri.
Padahal, ketika kita mau mengikuti apa yang ditunjukkan oleh Allah, yaitu aturan-aturan yang sudah tetapkan oleh Allah, Insyaallah akan dilimpahkan keberkahan dari langit dan bumi. Sayangnya, manusia saat ini belum move on dari sistem yang ada, sehingga berulang-ulang jatuh pada kubangan yang sama. Manusia masih tetap bertahan dalam kerusakan, padahal menginginkan perubahan.
Allah sudah memberikan petunjuk dengan aturan syariat yang lebih baik, yaitu dengan mengembalikan konsep kepemilikan yang sebenarnya. Sumber daya alam adalah milik umat yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Tidak semestinya tambang nikel pengelolaannya diserahkan kepada swasta, apalagi swasta asing. Haram hukumnya untuk dikelola selain negara. Sudah saatnya umat berpikir cerdas, hukum siapakah yang lebih baik? Masihkah kita ingin terus dikendalikan hukum korporat?
Wallaahu a’lam.
Oleh: Sri Sulastri
Founder Khatmil Qur’an Berjamaah
Views: 9















