Raja Ampat Terancam: Viral Dulu Baru Pemerintah Bertindak

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
WhatsApp
Twitter
Telegram
Threads

Tinta Media – Apa yang terbayang oleh kita bila mendengar nama Raja Ampat?

Dulu, yang terbayang adalah suatu tempat tujuan wisata yang indah sekali. Perpaduan pulau-pulau kecil bertebaran berwarna hijau karena hutannya yang lebat dengan lautan yang bersih berwarna biru, sehingga menjadi tempat favorit untuk wisata. Keindahan alam dan kekayaan biotanya menobatkan kawasan Raja Ampat sebagai Global Geopark oleh UNESCO PBB. Bahkan, Kawasan Raja Ampat dijuluki sebagai Surga Terakhir Dunia.

Kawasan darat Raja Ampat merupakan tempat tinggal bagi 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. Perairannya adalah rumah bagi 75% spesies koral dunia dan 2500 spesies ikan (Metro TV, 7/6/2025). Citra satelit Pulau Gag, Raja Ampat pada tahun 2017 menunjukkan  kawasan daratan masih berwarna hijau karena dipenuhi hutan yang lebat. Namun, citra satelit di tempat yang sama pada tahun 2025 menunjukkan adanya pengurangan area hijau, berganti dengan warna kecoklatan yang menandakan telah terjadi penggundulan hutan (deforestasi).

Global Forest Watch melaporkan, telah terjadi deforestasi di kawasan Raja Ampat seluas 11.700 hektar hutan primer dan wilayah perairannya mengalami sedimentasi yang berdampak pada ekosistem di sana.  Deforestasi dilakukan untuk kegiatan pertambangan nikel. Kegiatan inilah yang membuat Raja Ampat tak lagi indah.

Negara ini memang sedang giat mendorong hilirisasi industri nikel untuk menunjang produksi baterai kendaraan listrik. Industri kendaraan listrik sangat menjanjikan di tengah makin menipisnya persediaan bahan bakar minyak. Namun sayang, di satu sisi diciptakan kendaraan ramah lingkungan karena tidak ada buangan carbon ke udara, tetapi di sisi lain lingkungan dihancurkan untuk menyokong proyek itu.

Penambangan nikel di Raja Ampat mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan berupa deforestasi, sedimentasi perairan, dan limbah logam berat yang meracuni tanah dan air sekitarnya. Yang paling menderita adalah masyarakat.

Deforestasi menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat dari hutan, juga menyebabkan terjadinya banjir.  Sedimentasi dan pencemaran logam berat merusak terumbu karang sehingga ikan sulit didapat. Ikan dan air yang mengandung logam berat melebihi batas ambang baku berpotensi menimbulkan berbagai penyakit bagi masyarakat, seperti penyakit kulit, ginjal, kanker, dll.

Viral Baru Ditanggapi

Masyarakat telah lama meminta pemerintah untuk menghentikan proses penambangan nikel ini. Namun, suara mereka selalu kalah oleh isu lain.  Polemik pertambangan nikel baru mendapat perhatian pemerintah setelah viral di media sosial.

Sekelompok anak muda dari Raja Ampat dan aktivis Greenpeace menyerukan “Save Raja Ampat dari Kerusakan akibat Tambang Nikel” dalam Konferensi Nikel Internasional di Jakarta dan mendapat tanggapan positif dari netizen sehingga viral (BBC News, 11/6/2025).

Besarnya sorotan publik membuat Pemerintah melalui Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat. Namun, aktivis Greenpeace berpendapat bahwa langkah pemerintah itu hanya meredam suara protes masyarakat saja karena putusan bersifat sementara, bukan pencabutan izin usaha atau penutupan penambangan secara tetap.

Akar Masalah Polemik Tambang Nikel

Penambangan Nikel menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang dilindungi oleh dunia internasional.  Di sisi lain, penambangan ini juga melanggar UU Kelestarian Lingkungan no 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang menyatakan bahwa dilarang melakukan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran, dan merugikan masyarakat.

Aneh memang, pemerintah yang membuat undang-undang, tetapi pemerintah pula yang melanggarnya dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan pada beberapa perusahaan.  Ironisnya, pemegang izin usaha hilirisasi industri nikel itu, 70% dikuasai asing dan 30% pengusaha lokal. Maka jelas, yang diuntungkan dari pertambangan nikel adalah para pengusaha.

Bagaimana dengan masyarakat sekitar?  Apakah mereka mendapat keuntungan juga?
Ternyata tidak. Masyarakat memang bisa bekerja di industri nikel sebagai buruh, tetapi mereka terkena juga dampak buruknya. Polusi udara dari asap industri berisiko menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Air dan tanah yang tercemar logam mercuri serta nikel mengancam menurunnya imunitas tubuh. Ikan yang mengandung logam berat juga memperburuk kesehatan. Sampai ada warga sekitar industri berkata bahwa nikel ini menguntungkan para pengusaha, tetapi menjadi kutukan bagi rakyat.

Inilah bentuk nyata kerusakan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu sistem kapitalisme sekuler.  Penambangan yang membahayakan lingkungan dapat dilakukan, meski melanggar undang-undang yang sudah ditetapkan negara, karena para pemimpin hanya melihat cuan yang dijanjikan para pengusaha. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha lebih berkuasa daripada pemerintah. Bisa dibilang, pemerintah berada di ujung telunjuk pengusaha. Pemerintah hanya sekadar regulator, menjaga kepentingan pengusaha. Tidak ada halal haram dalam tindakannya, sekalipun mereka mengaku muslim.

Sistem kapitalisme sekuler adalah akar masalah dari polemik pertambangan nikel dan pertambangan lainnya.  Sekularisme meniadakan peran agama dalam kehidupan sehingga manusia bebas memiliki apa pun, termasuk barang tambang untuk kepentingan pribadi. Pemerintah sebagai penentu kebijakan lupa pada kewajiban mengurus rakyat yang memilihnya saat pemilu. Tidak ada halal haram dalam perbuatan, mereka tidak takut akan dosa.

Perlindungan Alam dalam Sistem Islam

Islam menetapkan bahwa sumber daya alam (SDA) seperti nikel adalah harta milik umum atau milik rakyat yang harus dikelola oleh negara. Hasilnya harus dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Islam juga menetapkan bahwa wajib bagi masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan karena berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Islam memiliki konsep _hima_, yang berarti daerah yang dilindungi atau kawasan lindung. Hima  merupakan konsep konservasi dalam Islam. Dalam konsep hima, pemimpin (pemerintah) akan melindungi suatu wilayah karena kesuburan tanahnya, aneka satwa dan tumbuhannya, atau merupakan sumber air.

Rasulullah saw. bersabda bahwa tempat tinggal yang paling menyenangkan adalah hima, andai saja di sana tidak banyak ular (HR An Nasa’i). Hima an Naqi di sekitar kota Madinah adalah contoh wilayah konservasi yang ditetapkan oleh Rasulullah saw.  Rasul melarang masyarakat berburu binatang pada radius 4 mil sekitar kota Madinah. Masyarakat juga dilarang merusak tanaman dalam radius 12 mil. Hima merupakan wilayah konservasi untuk menjaga keseimbangan alam. Maka, konsep hima akan melindungi lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksplorasi.

Pemimpin dalam Islam menjalankan aturan hima sesuai dengan hukum syari’at. Rasulullah saw. dan para khalifah menjaga hima sebagai sebuah kewajiban karena hima adalah milik Allah Swt.   Siapa saja yang merusak tumbuhan  atau menangkap binatang dalam hima, akan dihukum pukulan dan alat perusaknya dirampas.

Sungguh, hanya dengan sistem Islam, alam akan lestari, lingkungan terjaga karena haram merusak lingkungan milik Sang Pencipta, apalagi sampai menyengsarakan masyarakat sekitarnya. Manusia dilarang bersikap serakah dan aniaya pada sesama. Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Wiwin 

Sahabat Tinta Media 

Views: 7

TintaMedia.Com : Menebar opini Islam di tengah-tengah umat yang terkungkung sistem kehidupan sekuler.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TULISAN TERBARU

SEDANG TRENDING

MENANGKAN OPINI ISLAM

JADWAL SHOLAT DI KOTA ANDA