Tinta Media – Belum lama ini Ustadz Adi Hidayat (UAH) mendapatkan banyak
hujatan akibat ceramahnya yang menghalalkan musik. Para penghujat berpandangan
musik adalah haram dan yang menghalalkannya dianggap menyimpang dari Alqur’an
dan Sunnah. Anehnya, terhadap demokrasi dan pemuja demokrasi para penghujat UAH
lebih banyak diam bahkan justru ada yang ikut serta dalam pesta demokrasi.
Padahal jika ditakar dengan Al-Qur’an dan Sunnah, demokrasi
bukan hanya menyimpang melainkan bertentangan dengan akidah Islam.
Demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya,
rakyat yang berhak membuat hukum. Teknisnya, rakyat diwakili sejumlah orang
untuk menyusun dan memutuskan hukum yang dianggap baik dan sesuai dengan
kepentingan rakyat.
Kedaulatan rakyat jelas ditolak dalam Islam. Sebab, akidah
Islam hanya meyakini kedaulatan ada di tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 40 yang artinya,
“keputusan itu hanyalah milik Allah.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa keputusan,
kekuasaan bertindak, kehendak dan kekuasaan seluruhnya hanya milik Allah dan
Allah telah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk tidak beribadah kecuali hanya
kepada-Nya.
Dengan menjadikan kedaulatan berada di tangan rakyat berarti
rakyat menjadi penentu suatu aturan baik atau buruk, benar atau salah. Rakyat
juga yang menentukan sesuatu itu halal atau haram. Ini jelas melanggar hak
Allah sebagai satu-satunya yang berhak mengatur kehidupan manusia.
Dalam Al-Qur’an surat Attaubah ayat 31, Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman yang artinya, “mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.”
Adi bin Hatim menanggapi ayat tersebut sebagaimana
dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Jarir,
sesungguhnya mereka tidak menyembahnya. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda: “Tidak, sesungguhnya mereka mengharamkan hal yang halal
bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram, lalu mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan mereka kepada orang-orang alim
dan rahib-rahib mereka.”
Apalagi demokrasi terlahir dari akidah sekularisme yaitu akidah
yang memisahkan agama dari kehidupan. Tentunya, akidah sekularisme ini bertolak
belakang dengan akidah Islam yang justru mengharuskan manusia untuk senantiasa
beribadah kepada Allah, tunduk dan patuh kepada seluruh aturan Allah agar
meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Demokrasi menjamin empat macam kebebasan, yaitu kebebasan
beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan
berperilaku. Dengan terjaminnya empat kebebasan ini, demokrasi secara tidak
langsung menyuburkan berbagai macam bentuk pelanggaran syariat Islam. Sebab,
Islam memiliki aturan yang ketat dan tegas terkait akidah, aturan yang kompleks
terkait perilaku manusia termasuk di dalamnya perkataan, tata cara berpendapat
juga mencakup soal kepemilikan.
Kebebasan beragama misalnya telah menumbuhsuburkan berbagai
aliran sesat serta berbagai paham yang menyimpang seperti pluralisme. Fenomena
nikah beda agama bahkan pindah agama menjadi hal yang biasa. Padahal dalam
Islam, sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim dan ashhab assunan, pindah agama
(Murtad) dari Islam diancam dengan hukuman mati.
Atas nama kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku
bermunculan orang-orang yang berani menghina ajaran Islam bahkan menghina Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Demokrasi pun memberikan perlindungan
bagi siapa yang berekspresi dalam hal berpakaian maupun dalam hal memuaskan
nafsu seksnya. Hasilnya, banyak yang tidak malu-malu mengumbar aurat di depan
umum, bahkan ada yang nekat melakukan hubungan layaknya suami istri di area
publik.
Dalam hal kebebasan kepemilikan, demokrasi memberi angin
segar bagi para manusia serakah untuk menguasai kekayaan alam tanpa batas.
Dengan alasan kompetisi, para pemilik modal bebas mengembangkan bisnisnya di mana
pun dengan cara apa pun. Hasilnya yang kaya semakin kaya sedangkan yang gagal
berkompetisi karena kurangnya modal akan semakin terpuruk.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas sudah seharusnya umat
Islam menolak demokrasi dan menjauhkannya dari kehidupan kaum muslimin. Kaum
muslimin harus bersikap tegas, karena jika tidak akan berakibat terjadinya
berbagai kemaksiatan akibat diterapkannya demokrasi. Sikap tegas kaum umat ini
haruslah melebihi dari penolakannya terhadap musik. Sebab kerusakan yang
diakibatkan oleh demokrasi jauh lebih besar dari yang diakibatkan musik.
Apalagi demokrasi justru menghidupkan musik yang cenderung
menjauhkan dari mengingat Allah. Dengan kebebasan berekspresi mendorong para
pemusik mengembangkan seninya tanpa peduli melanggar syariat Islam atau tidak.
Kenyataannya, musik yang berkembang di tengah masyarakat saat ini adalah musik
yang mendorong pendengarnya bermaksiat.
Karena itu sikap kaum muslimin yang paling tepat saat ini
dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan adalah menolak demokrasi, melawan upaya
propagandanya dan membongkar wajah demokrasi sesungguhnya. Di saat yang sama
memahamkan kaum muslimin tentang syariat Islam secara kaffah dan berusaha
menegakkannya dengan dakwah secara sungguh-sungguh.
Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah
Views: 0